Rabu, 05 Oktober 2011

CERITA BARU DARI POTRET USANG


CERITA BARU DARI POTRET USANG

Semilir angin senja menyelinap masuk ke dalam kamarku melalui sela-sela jendela yang belum sempat dikunci dan membuatnya bergoyang pelan seolah-olah melambaikan salam perpisahan pada matahari. Awan-awan berarak cepat dikejar kegelapan yang akan segera nampak. Burung-burung kecil masih tetap terbang hilir mudik mengantar sang surya kembali ke peraduannya. Beberapa bersiul saling memacu menciptakan harmonisasi nada yang menyejukkan hati. Tak ada keriuhan di sini. Hanya sepi dan damai. Aku masih saja menatap potret dua sahabat dalam bingkai usang yang tak pernah ku pindahkan dari meja belajarku sejak 4 tahun yang lalu. Duduk termangu di tepi ranjang reot yang sesekali menjerit kecil. “Kreet”. Aku beranjak dari duduk dan kuraih bingkai itu. Kutiup pelan untuk menghapus debu-debu yang menempel. “Liod!” lirihku. Kuraba potret itu. Dua orang sahabat kecil -aku dan Liod- berangkulan dan tersenyum riang.
Lima tahun yang lalu -ketika putih-merah masih menjadi almamaterku- adalah awal perjumpaanku dengan Liod. Dia murid baru di sekolahku.
“Boleh aku duduk di sampingmu?” tanya Liod santun kepadaku.
“Ya!” jawabku lirih dengan kepala tetap ku tundukkan.
Aku dikenal sebagai anak pemalu, pendiam dan cupu di kelas. Tak heran jika aku tak mempunyai teman semeja. Tak hanya itu, aku sering menjadi bahan olok-olok temanku. Mereka mengataiku “Bon-bon cupu!” atau “Bon-bon si kutu buku!”. Walaupun demikian, prestasiku di bidang akademik cukup baik. Sejak kelas 1 aku selalu masuk peringkat tiga besar di kelas.
“Liod. Lengkapnya Liod Hermawan...”  ucapnya sambil mengulurkan tangan.
“Aaakuu... Bboni...” ucapku terbata-bata.
“Kau kenapa? Sakit?” tanya Liod dengan nada lembut.
Aku terdiam. Aku tidak terbiasa berbicara dengan siapapun di kelas ini.
“Kenapa, Bon?” ucapnya sekali lagi mengharapkan jawaban dariku.
“Orang bisu kau ajak berbicara... Ha...” ejek Adit diikuti tawa terbahak-bahaknya dan tawa sebagian siswa kelas V.1. Mukaku memerah. Liod menoleh ke arah Adit. Tanpa berkata sepatah katapun Liod berpaling kembali kepadaku.
“Kau kenapa?” tanyanya sekali lagi. Liod memegang kedua bahuku dan menggunncangnya pelan.
“Ttaak aapa, Li.. liod! Aku baik-bbaik saja...” sanggahku.
Liod terdiam sejenak dan terus memegangi bahuku. Dia tetap menatap mukaku.
“Kau seperti ketakutan...” ucapnya seolah-olah dia mengetahui ketidak nyamananku berada di sini.
Teng-teng-teng... Bunyi bel penanda jam pertama dimulai berbunyi.
“Lupakanlah...” ucapku pelan dan hampir seperti tak bersuara namun dengan nada suara yang lebih tenang dan tidak segugup sebelumnya. Akuu menoleh ke arahnya dan tersenyum kecil. Liod melepaskan pegangannya.
 Tidak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu kelas, mengucapkan salam dan masuk. Tanpa harus melihat siapa orang itu aku sudah tahu bahwa dia itu Bu Ros dari suara dan cara dia mengucapkan salam. Keriuhan kelas terbius dalam sekejap.
“Silakan berdoa terlebih dahulu...” ucapnya mempersilakan kami berdoa sebelum belajar dimulai.
Reza si ketua kelas segera memimpin kami berdoa dan mengucapkan salam.
“Perhatian...! Sebelum belajar marilah kita berdoa......... Selesai... Ucapkan salam!” tuntunnya.
Bu Ros mengabsen satu per satu murid. Setelah semua murid terabsen bu Ros beranjak dari duduknya dan menatap sekeliling kami seperti mencari seseorang. Kemudian tatapannya terhenti pada Liod.
“Anak-anak hari ini kita kedatangan teman baru... Liod, silakan perkenalkan dirimu...” bu Ros mempersikan Liod untuk memperkenalkan diri.
Liod segera bangun dari duduknya dan melangkah ke depan kelas.
“Namaku Liod Hermawan. Panggil saja aku Liod. Aku pindah ke sini karena ikut ayahku yang dipindah tugaskan. Ayahku seorang TNI. Aku tinggal di belakang sekolah ini...” ucapnya lantang memperkenalkan diri.
Aku kagum sekali dengan caranya memperkenalkan diri. Dia tak terlihat gugup sedikitpun berbicara di depan orang banyak yang baru pertama kalinya ia jumpai.
“Caramu memperkenalkan diri bagus sekali...” ucapku memberanikan diri ketika Liod duduk kembali di kursinya. Liod tersenyum kecil.
“Thanks, Bon!” balasnya sambil menatap
mataku dan seolah-olah mengirim suatu pesan kepadaku. “Aku ingin menjadi temanmu... Kau kesepian, bukan?” begitulah kira-kira.
Teng-teng-teng... Bel pulang berbunyi. Semua siswa membludak keluar kelas berbarengan.
“Bon, tunggu!” Tepukan Liod di pundak belakang menghentikan langkahku. Kuputar badan.
“Bisakah kita mengobrol sebentar?” tanyanya dengan penuh harap.
Aku berpikir sejenak. Biasanya aku segera pulang ke rumah setelah bubar sekolah.
“Mengenai apa?” tanyaku ringan.
“Mengenai kita...” jawabnya secepat kilat. Dia menuntunku untuk duduk di bangku koridor di depan kelas.
 “Aku ingin mengenalmumu lebih jauh lagi. Lebih dari hanya teman sebangku... Mmm.. Aku kagum dengan caramu menyelesaikan soal matematika tadi... Bisakah kita berteman...?”
“Kau ingin mengenalku dan berteman hanya gara-gara aku dapat menyelesaikan soal matematika tadi?” tetap dengan nada suaraku yang rendah.
“Tidak, Bon! Mmm.. Bukan itu maksudku bon...” Liod terlihat panik karena khawatir aku salah menafsirkan permintaannya.
“Lalu apa? Kenapa kau mau berteman denganku sedangkan orang-orang di kelas tidak ada yang mau berteman denganku. Mereka menjauhiku. Mereka memanggilku “cupu”. Mereka mengolok-olok aku..” nada bicaraku mulai meninggi dan emosiku mulai meluap.
“Kenapa kau berpikir seperti itu?” nadanya lirih dan lebih rendah dari sebelumnya.
Aku beranjak dari dudukku dan melangkah bermaksud pulang tanpa menghiraukan pertanyaannya. Aku tak marah sedikitpun kepadanya. Hanya saja pertanyaannya membuatku teringat akan perlakuan yang kuterima di kelas selama ini. Hal itu membuat emosiku meluap-luap.
“Bon...!” Liod menahan langkahku dengan memegang bahuku. Dia membalikkan badanku lagi.
“Menagis saja kalau kau ingin menangis... Aku mengerti keadaanmu, Bon...” ucapnya lembut.
Emosiku terus meluap, tetesan air mata tak bisa kubendung lebih lama lagi. Pertanyaannya membuatku teringat akan semua perkataan dan perbuatan teman-teman sekelasku.
“Ini....” ucapnya sambil menyodorkan sehelai sapu tangan bertuliskan LIOD di ujungnya. Mungkin itu dirajut ibunya.
Ku sapu air mataku.
“Percayalah... Aku akan menjadi temanmu yang baik... Tenangkan dirimu....” Liod menuntunku duduk kembali. Sudah tak ada siswa lain kecuali kami berdua. Tak terdengar lagi keramaian lorong dan keriuhan kelas seperti biasanya.
Liod merangkulkan tangannya dipundakku. Dia terdiam selama aku menangis.
 “Sudahlah kawan... Aku ini lelaki...” ucapku dengan nada sedikit terisak-isak karena habis menangis. Liod tersenyum.
“Heii... Kau memanggilku kawan?” nada suaranya terdengar bersemangat. Aku hanya bisa menjawabnya dengan tersenyum.
“Itu artinya... Iya?” tanyanya memastikan.
“Kursi di sebelahku sudah lama merindukan seorang penghuni... haha..” ucapku dan iringi tawa kami berdua.
“Oke... Mulai hari ini kita teman!” Liod terdengar semakin bersemangat. “Mari tos...”
Dia menarik tangan sebelah kananku dengan tangan kirinya kemudian dituntunnya untuk melalukan gerakan menepuk tangan kanannya. “Plukk”. Kami tos, tanda awal pertemanan aku dan Liod.
~oOo~
“Bon-bonnnn...!”
Teriakan seseorang membangunkan lamunanku. “Huhh... Bunda mengganggu acara nostalgiaku...” gumamku.
“Ya, bunn...!” jawabku membalas teriakan bunda.
“Tutup jendela kamarmu, Bon! Lekas mandi dan bersiaplah pergi sembahyang ke mesjid bersama ayah...” nada suara bunda tidak setinggi sebelumnya.
Kuletakkan bingkai itu. Kupandangi sebentar kemudian membalikkan badan. Aku berjalan kearah pintu, kutarik sedikit selebar diameter kepalaku lebih sedikit. Kepalaku ku keluarkan sementara badan tetap di dalam.
“Siap nyonya...!!!” balasku kembali dengan nada sedikit menggoda.
Aku masuk kembali ke kamar. Kulirik jam dinding. Pukul 17.30. Segera kututup jendela kamar dan kuraih handukku. Kemudian berlari secepat kilat menuju kamar mandi.
~oOo~
 “Bon tadi Pak Dodi menelepon...” ucap bunda mengagetkan sekaligus menghentikan langkahku yang tinggal  satu meter dari pintu kamar sepulang dari kamar mandi. Aku membalikan badan dan kulihat bunda sedang asyik membaca tabloidnya di sofa ruang tamu. Memang kamarku berada di bagian depan rumah tepat bersebelahan dengan ruang tamu.
“Dia menintipkan pesan untukmu... Besok kau ke rumahnya jam 9.00 pagi. Festival seni sekolah tinggal dua hari lagi... Kau harus rajin berlatih....” ucap bunda menyampaikan pesan Pak Dodi, guru mata pelajaran seni dan budaya sekaligus pembina kelompok seni di sekolah.
“Yappp... Berlatih dan berlatih lagi... Kalau begini aku tak bisa menikmati hari mingguku dong...” keluhku dalam hati. Kulanjutkan langkahku tanpa berkomentar apapun mengenai pesan yang disampaikan bunda.
“Bunda jangan mengintipku ya... Aku mau ganti pakaian... haa.. ha..” ucapku menggoda bunda kembali sebelum menutup pintu kamarku.
Tak lupa aku kunci pintu kamarku khawatir ada orang yang menerobos masuk tanpa sepengetahuanku ketika aku sedang telanjang bulat. Bahaya, bukan? Lantas ku buka lemari pakaian dan berusaha mencari baju koko yang akan ku kenakan ke masjid.
“Ini bukan... Disini tak ada... Yang diatas sini tidak ada juga...” Ku buka lemari gantung. “Ini dia... huh...” gumamku. Ketika aku hendak menutup pintu lemari itu aku teringat akan suatu hal.
“Kurasa ada di sebelah sini...” ucapku berbicara sendiri.
“Tidak...”
Kugeledah isi lemariku berusaha menemukan barang yang ku maksud. Sebagian pakaian ku keluarkan untuk memudahkan pencarianku. Lima menit berselang tetap tidak kutemukan. “Kotak lemari bagian bawah...” seingatku.
“Ya, kurasa ada di sana”
Segera ku raih pegangan penarik kotak itu.
“Ini dia... Kaos merah hitam dari Liod....” ucapku senang.
“Sapu tangan itu pun masih ada...” lanjutku sambil melirik sapu tangan bertuliskan LIOD yang pernah diberikan Liod.
Kaos itu diberikan Liod kepadaku sehari sebelum keberangkatannya pindah ke Maluku. Dia membungkusnya dengan kotak kado berwarna putih bergambar Detective Conan, kartun jepang yang kusukai saat itu.
~oOo~
“Kau memberiku kado? Ulang tahunku kan masih jauh...” tanyaku bingung.
“Bon...” Liod berkata lirih kemudian menundukkan kepalanya.
“Ya...” jawabku. Aku tahu ada sesuatu hal yang sangat penting yang akan ia sampaikan. Raut wajah dan sikapnya menunjukkan keanehan pada malam itu.
“Kuharap kita adalah teman baik...” lanjutnya.
Aku semakin merasakan keanehan itu. Nada bicara, sikapnya, senyumannya, keceriaannya, tatapannya kepadaku dan petikan gitarnya tidak seperti biasanya.
“Mungkin ini adalah malam terakhir kau mendengar petikan gitarku...” ucapnya lirih.
Aku masih tak mengerti.
“Kenapa dengan gitarmu?” tanyaku penasaran.
Aku sangat menyukai permainan gitarnya. Diumurnya yang masih 12 tahun, ia mampu melantunkan harmonisasi nada-nada yang indah melalui petikan gitarnya. Bakatnya di dunia musik memang tidak diragukan. Selain mampu memainkan gitar, ia juga mampu bermain biola –sama seperti yang sedang kugeluti sekarang-, keyboard dan drum. Selain itu, suaranya sangat merdu dan siapapun yang mendengarnya bernyayi akan terkagum-kagum. Bahkan dua minggu sebelum kepindahannya, dia menyabet gelar juara I pemilihan penyanyi cilik berbakat se-Bandung. Mungkin darah musiknya diturunkan oleh ibunya yang juga seorang pemain biola dan piano.
“Bukan gitarku...” jawabnya masih dengan nada bicara tak seperti biasa.
Kami sama-sama terdiam dalam waktu beberapa menit. Aku tak berani memaksanya segera berbicara. Aku tahu ia sedang berperang melawan perasaannya. Liod terus saja menundukan kepalanya. Dia ingin menyampaikan sesuatu tapi masih mencari-cari cara yang tepat.
Aku semakin penasaran dibuatnya. Liod tidak pernah bertingkah seperti itu sebelumnya. Liod adalah anak yang ceria dan periang. Dia selalu menjadi orang pertama yang tahu jika aku sedang sedih. Dia juga orang pertama yang tahu bagaimana mengembalikan keceriaanku. Liod adalah sahabat terbaik yang pernah kutemui. Dia mengajariku banyak hal. Mulai dari bagaimana caranya berteman dan berinteraksi dengan sekelilingku, belajar untuk tetap tegar, belajar untuk terus bersemangat, mengajariku berenang, mengajariku bermain basket, bahkan dialah yang mengenalkanku ke dunia musik dan mengajariku teknik dasar bermain biola.
Dua hari setelah pertemuan pertamaku dengan Liod, dia mengajakku ke rumahnya. Saat itu sepulang sekolah aku dan Liod langsung menuju rumahnya. Dia mengenalkanku pada ibu dan adiknya, Trisna. Namun saat itu aku tak bertemu dengan ayahnya, mungkin ia sedang bertugas. Liod mengajakku ke kamarnya. Aku terkaget. Beberapa alat musik tergeletak di sana. Keyboard, gitar, dan biola. Setelah berganti pakaian dan makan siang bersama, Liod menunjukkan kebolehannya memainkan biola. Aku terkagum-kagum dibuatnya. Dia hebat.
Esok harinya aku kembali ke rumahnya. Kali itu ia mengajariku bermain biola. Sejak saat itu aku tertarik untuk mempelajarinya. Setiap hari kusempatkan waktu untuk berkunjung ke rumah Liod. Tujuan utamanya untuk meminta Liod mengajariku bermain biola. Setelah beberapa minggu, nada-nada dasar biola ku kuasai. Kemudian Liod mengajakku mengikuti kelompok musik yang ia ikuti sejak awal kepindahannya. Aku setuju dan sampai saat ini aku masih tergabung dalam kelompok itu.
“Besok aku pindah...” ucapnya setelah lama terdiam. Sontak aku terkaget.
“Maksudmu? Kau sedang bergurau, Liod?” ucapku tak percaya.
Liod kembali terdiam untuk beberapa saat. “Liod akan pindah...” pikirku. Bak disambar petir di siang bolong aku menyusul kediamannya. Aku terus memikirkan ucapnnya tadi. “Liod... temanku... akan pergi...” gumamku.
“Aku tak mau berpisah denganmu, bon...” ucap Liod sedih. Aku tak lagi melihat keceriaan yang biasanya.
Aku tetap terdiam. Aku berusaha tegar agar Liod tak semakin sedih dan terbebani jika dia benar-benar akan pindah. Walaupun sebenarnya aku sangat terpukul mendengar kabar itu. Aku akan kehilangan sahabatku.
“Ayahku dipindah tugaskan...” lanjutnya.
“Tenanglah...!” ucapku berusaha menenangkannya. Ku usap-usap pundaknya berusaha membuat dia lebih tegar.
“Bagaimana aku bisa tenang bon... Kami akan pindah ke Maluku... Menyebrangi lautan... Jarak Bandung ke Maluku sangat jauh bon... Sulit untuk kita berjumpa...” ucapnya semakin sedih.
Aku semakin terpukul mendengar kabar itu.
“Maluku?”tanyaku memastikan.
“Bon... Maafkan aku...” lirihnya.
Itulah kali terakhir aku dan Liod bertemu dan mengobrol karena keeseokan paginya aku sudah tak menemukan ia  di rumahnya. Aku berniat untuk menyampaikan salam perpisahan kepadanya. Namun ketika aku sampai di depan rumahnya, aku menemukan rumahnya sudah dalam kadaan kosong. Malam itu benar-benar hubungan terakhir diantara kami. Liod tak memberikan alamat ataupun nomor telepon rumahnya di Maluku.
~oOo~
“Bon... Cepatlah! Sebentar lagi adzan...” kali ini suara ayah yang membangunkan nostalgiaku.
Segera ku kenakan sarung, koko dan peciku. Tak lupa ku raih sajadah dan kugantungkan di pundakku. Ku rapikan kembali pakaian yang berserakan. Kaos dan sapu tangan pemberian Liod ku taruh kembali ke tempat semula.
“Ayah, aku siap!” ucapku ketika tiba di ruang tamu. Ayah duduk di sofa dengan pakaian sembahyangnya. Bunda masih tetap asyik membaca tabloidnya di sebelah ayah. Sempat kulirik halaman yang dibaca bunda. Ternyata bunda sedang membaca resep-resep makanan.
“Ayo berangkat...”  ucap ayah sambil beranjak dari duduknya.
Tanpa komentar apapun aku pamit pada bunda dan ku ikuti langkah ayah.
            Sepulang dari mesjid bunda menyambut kami dengan hidangan makan malam yang menggoda selera. Dari pintu depan saja sudah kucium aroma sedap makanan kesukaanku, ayam goreng renyah dan potatoes nugget. Secepat rudal squad aku berlari ke kamar, mengganti pakaian dan meluncur ke meja makan.
            “Woww, kelihatannya lezat sekali nih, bunda!” ucapku bersemangat sambil mencubit sedikit ayam goreng renyah buatan ibu.
“Cuci tangan dulu dong bon...” sergah ibu sambil memegang tanganku ketika hendak mencubit ayam goreng itu lagi.
“Iya deh, bun....”
~oOo~
“Bon-bon.... bon-bon... bangun nak!!!”
Tok-tok-tok...
“Bon... bangun...” teriakan bunda dan bunyi pintu yang diketuknya membangunkan tidurku.
Perlahan mataku mulai terbuka. Ternyata hari sudah pagi. Sinar terang memancar masuk melalui ventilasi jendela kamarku.
            “Ya, aku bangun....” ucapku dengan nada lemah. Tidurku lelap sekali. Sehabis makan malam dan shalat isya aku langsung tertidur pulas.
“Sudah jam 9... Ini jadwalmu latihan...” lanjut bunda.
“Apa bun?” aku terperanjat dan langsung beranjak dari tempat tidurku.
“Bunda kenapa tak membangunkanku lebih pagi.. huh.. bunda!” gerutuku.
Kugeser gorden jendela. Sudah sangat terang. Kulirik jam dinding yang menunjukan pukul 08.57. Segera kutarik handuk dan berlari menuju kamar mandi. Dalam waktu sepuluh menit aku selesaikan mandiku dan berganti pakaian.
“Aku berangkat ya bun...” pamitku pada bunda sambil tergesa-gesa tapi aku tak melihat ayah, mungkin ia pergi memancing dengan temannya.
Tepat pukul 09.40 aku tiba di rumah Pak Dodi. Teman-temanku yang lain sudah berkumpul disana. Kami semua akan mengisi acara pentas seni sekolah besok. Aku didaulat tampil dua kali. Penampilan pertama adalah duetku dengan Rio, vokalis band terbaik di sekolahku. Kami akan membawakan lagu “Indonesiaku”. Penampilan yang kedua adalah duetku dengan sesama pemain biola. Dia adalah bintang tamu yang didatangkan dari Jakarta. Tapi sampai hari ini aku belum tahu siapa orangnya.
“Teman duetmu dari Jakarta akan ikut latihan bersama kita hari ini. Dia dijadwalkan tiba di Bandung siang ini...” ucap Pak Dodi disela-sela latihan.
“Wah, kamu beruntung ya Bon... Kamu bisa berduet dengan seorang pemain biola terkenal dari Jakarta...” seru Rio.
“Sudahlah, Io.. Jangan ngeledek aku terus. Aku ini sedang deg-degan.. Membayangkan bagaimanaa duetku dengannya nanti... huh...!” jawabku sambil membersihkan biola kesayanganku. Sedangkan teman-temanku yang lain sibuk dengan latihan dan alat-alat musik yang hendak mereka pergunakan esok. Disudut ruangan terlihat Pak Dodi yang tengah serius mengobrol via telepon genggamnya.
“Eh, jujur loh, Io.. Aku tidak tahu sama sekali dengan teman duetku dari Jakarta itu...” lanjutku.
“ Ah, dasar kamu, Bon... Pemain biola terkenal seperti Awan saja gak tahu...”
“Oh... Namanya Awan...” ucapku polos.
“Ah, sudahlah mari kita beristirahat dan shalat terlebih dahulu... Sudah adzan tuh...” ajak Rio sambil mengemas buku kord lagu ke dalam tas ranselnya.
~oOo~
            Latihan dimulai kembali pada pukul 14.00. Detak jantungku berpacu semakin cepat. Aku terus saja  berjalan kesana kemari dan tak bisa duduk berdiam diri.
            “Sebentar lagi pasti dia datang, bon...” ucap Rio.
            Aku semakin uring-uringan saja. Awan? Awan? Awan? Nama itu berkecamuk di otakku. Aku khawatir waktu latihan yang singkat siang ini bisa menjamin kesuksesan penampilan duetku dengan Awan besok. Aku kepalkan kedua telapak tanganku erat. Aku putuskan untuk menghentikan langkah uring-uringanku dan duduk di samping Rio.
            “Io, aku deg-degan banget nih...” keluhku pada Rio.
            “Haa... Apa bon? Ha..” Rio tiba-tiba tertawa.
            “Loh kok malah ketawa io...” protesku. “Aku khawatir tidak bisa berduet dengan baik...” lanjutku. “Huhh...”
            “Ahhh... Sudahlah kawan! Aku yakin kok dengan kemampuanmu... Kamu pati bisa bon!” ucap Rio menyemangati dan menenangkanku.
            Ucapan Rio sedikit menenangkan perasaanku. Kuputuskan mengeluarkan biolaku tapi hanya kuusap-usap saja. Aku belum cukup tenang untuk memainkan nada-nadanya. Sementara teman-temanku yang lain sibuk mempersiapkan dekorasi panggung untuk dipasang malam ini.
            Pikiranku terus melayang-layang. Kemungkinan-kemungkinan yang berpotensi terjadi esok hari berkecamuk dalam pikiranku. Dudukku mulai tidak tenang lagi. Aku beranjak dan memutuskan keluar rumah untuk menghirup udara segar. Keadaan di dalam sudah terlalu sesak untuk menenagkan pikiranku.
            “Bon.. Bapak mohon maaf...” suara pak Dodi tiba-tiba menngagetkanku yang tengah melamun di kursi teras.
            “ Ada apa pak? Kenapa?” tuntutku.
            “Awan tidak bisa ikut latihan bersama hari ini... Tadi ia menelepon, katanya dia menunda keberangkatannya sampai besok pagi” lanjut pak Dodi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar