Kamis, 20 Oktober 2011

edibel film petin cincau hijau


BAB I
PENDAHULUAN

 Latar Belakang
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pengolahan dan pengawetan bahan makanan memiliki interelasi terhadap pemenuhan gizi masyarakat, maka tidak mengherankan jika semua negara baik negara maju maupun berkembang selalu berusaha untuk menyediakan suplai pangan yang cukup, aman dan bergizi. Salah satunya dengan melakukan berbagai cara pengolahan dan pengawetan pangan yang dapat memberikan perlindungan terhadap bahan pangan yang akan dikonsumsi. Salah satu macam pangan yang dibutuhkan manusia adalah buah-buahan. Buah-buahan banyak dimanfaatkan manusia untuk memenuhi nutrisi yang di butuhkan manusia karena banyak gizi yang terkandung dalam buah-buahan tersebut.
Ekspor mangga segar`rata-rata pertahun dari tahun 2002-2006 sebesar 7,1 % dari ekspor buah total. Volume ekspor mangga tahun 2006 mencapai 1.182 ton senilai 1,2 juta US$,Uni Emirat Arab, Saudi Arabia dan Singapura. Ekspor total produk olahan komoditas buah sampai saat ini di dominasi oleh nenas, sedangkan untuk mangga hanya sebesar 0,22% dari ekspor total produk olahan buah dalam tahun 2006. Hal ini sungguh ironis karena Indonesia merupakan penghasil mangga keenam terbesar di dunia. Di pasar Internasional dibutuhkan produk dengan mutu tinggi yang dibakukan, tidak hanya untuk buah segar , tetapi juga produk olahannya(Anonim,2008) dalam Tanti, dkk (2010). Permasalah yang terjadi di sebabkan rendahnya mutu mangga sehingga banyak terjadi kasus penolakan ekspor. Hal ini dikarenakan salah satunya tidak mampunya kemasan dalam melindungi komoditas mangga, sehingga begitu sampai Negara tujuan buah mengalami kerusakan.
Di daerah penulis tanaman cincau hijau  banyak ditemukan di pekarangan rumah, hanya saja pemanfaatan cincau hijau tersebut masih kurang optimal. Biasanya masyarakat sekitar hanya menggunakan cincau hijau sebagai bahan minuman seperti es cincau hijau yang diberi air gula. Tanpa mereka sadari kandungan yang terdapat dalam cincau hijau tersebut. Terarah dari pernyataan tersebut bahwa tanaman cincau hijau yang kurang dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah penulis ternyata mempunyai komposisi dan kandungan kimia yang sangat kompleks  Kurnia (2007) menjelaskan bahwa cincau hijau kaya akan karbohidrat, polifenol, saponin, dan lemak; tidak ketinggalan kalsium, fosfor,  vitamin A dan B. Selain itu, menurut Artha dalam Nurdin dan Suharyono (2007) tak hanya itu ekstrak cincau hijau tesusun atas komponen utama zat polisakarida pektin yang membentuk gel pada cincau. Kandungan polisakarida pektin yang terdapat pada cincau hijau tersebut merupakan Pektin tersebut merupakan kelompok hidrokoloid pembentuk gel yang apabila diserut tipis-tipis mempunyai sifat amat rekat terhadap cetakan dan tembus pandang,sehingga berpotensi untuk dibuat sebagai edible film.
Edible film adalah lapisan tipis yang terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi komponen makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai barrier terhadap transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipid, cahaya, dan zat larut), dan atau sebagai carrier bahan makanan atau bahan tambahan, serta untuk mempermudah penanganan makanan.
Maka dari itu kami (penulis) mencoba untuk memanfaatkan daun cincau  untuk dijadikan bahan alternatif untuk menjadikan mangga yang akan di ekspor tidak di kembalikan ke daerah pengekspor tersebut dengan cara melapisi mangga dengan kandungan pektin yang terdapat dalam cincau hijau tersebut. Oleh sebab itu penulis mengambil judul penelitian ini dengan “Edible Film Pektin Cincau Hijau (Premna oblongifolia Merr.,) Sebagai Kemasan Buah Mangga (Mangifera indica) Ekspor”


B.       Rumusan Masalah
Dari penelitian ini kami merumuskan suatu permasalahan sebagai berikut :
1.    Berapakah Konsentrasi Pektin Cincau Hijau Yang Terbaik Untuk Kemasan Buah Mangga Ekspor ?
2.    Berapa biaya yang dibutuhkan untuk membuat edible film dari pektin cincau hijau sebagai kemasan buah mangga ekspor?

C.  Tujuan penelitian
      
Tujuan penelitian ini adalah :
1.                       Untuk Mengetahui konsentrasi Edible film pektin cincau hijau yang tepat untuk kemasan buah mangga ekspor
2.                       Untuk mengetahui biaya yang dibutuhkan untuk membuat edible film dari pectin cincau hijau sebagai kemasan buah mangga ekspor


D.      Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :
1.    Dapat meningkatkan nilai guna cincau hijau, jika cincau hijau tersebut bisa digunakan untuk menjadi kemasan pada mangga ekspor.
2.    Untuk pengekspor buah, dapat menggunakan edible film yang terbuat dari cincau hijau sebagai kemasan mangga sehingga buah yang sudah di ekspor tidak di kembalikan lagi
3.    Untuk peneliti bisa dijadikan sebagai ajang dalam belajar meneliti, menyusun laporan penelitian dan melaporkan serta mempertanggung jawabkan hasilnya pada presentasi karya ilmiah.
4.    Dapat meningkatkan khasanah ilmu pengetahuan.

E.       Sistematika Penulisan

BAB I               Menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II              Menjelaskan tentang kajian pustaka mengenai edible film, pektin, cincau hijau, sekilas tentang tanaman mangga, faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan pada sayuran dan buah (produk hortikultura), usaha untuk mengurangi kerusakan pada buah dan sayur (produk hortikultura, kerangka pemikiran, definisi operasional dan hipotesis.
BAB III            Menjelaskan tentang metode penelitian mengenai waktu dan tempat penelitian, teknik pengumpulan data, desain penelitian dan teknik analisa data meliputi uji organoleptik suka.
BAB IV            Menjelaskan hasil penelitian dan pembahasan.
BAB V             Menjelaskan simpulan dan saran.










BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.      Edible film

Donhowe dan Fennema (1993) menyebutkan bahwa komponen utama penyusun edible film ada tiga kelompok yaitu hidrokoloid, lemak, dan komposit. Kelompok hidrokoloid meliputi protein, derivate sellulosa, alginate, pektin, dan polisakarida lain. Kelompok lemak meliputi wax, asilgliserol, dan asam lemak; sedangkan kelompok komposit mengandung campuran kelompok hidrokoloid dan lemak.  Menurut Koswara. et.al., (2002), Edible film terbuat dari komponen polisakarida, lipid dan protein. Edible film yang terbuat dari hidrokoloid menjadi barrier yang baik terhadap transfer oksigen, karbohidrat dan lipid. Pada umumnya sifat dari hidrokoloid sangat baik sehingga potensial untuk dijadikan pengemas. Sifat film hidrokoloid umumnya mudah larut dalam air sehingga menguntungkan dalam pemakaiannya.

Penggunaan lipid sebagian bahan pembuat film secara sendiri sangat terbatas karena sifat yang tidak larut dari film yang dihasilkan. Kelompok Hidrokoloid meliputi protein dan polisakarida. Selulosa dan turunannya merupakan sumber daya organik yang memiliki sifat mekanik yang baik untuk pembuatan film yang sangat efisien sebagai barrier terhadap oksigen dan hidrokarbon dan bersifat barrier terhadap uap air, sehingga dapat digunakan dengan penambahan lipid. Bahan hidrokoloid dan lemak atau campuran keduanya dapat digunakan untuk membuat edible film. Hidrokoloid yang dapat digunakan untuk membuat edible film adalah protein (gel, kasein, protein kedelai, protein jagung dan gluten gandum) dan karbohidrat (pati, alginat, pektin, gum arab, dan modifikasi karbohidrat lainnya), sedangkan lipid yang digunakan adalah lilin/wax, gliserol dan asam lemak. Kelebihan edible film yang dibuat dari hidrokoloid diantaranya memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida; serta lipid memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan struktural produk. Kelemahannya, film dari karbohidrat kurang bagus digunakan untuk mengatur migrasi uap air sementara film dari protein sangat dipengaruhi oleh perubahan pH (Syamsir, 2008).
Menurut Krocha dan De Mulder Johnson (1997) Edible film umumnya dibuat dari salah satu bahan yang memiliki sifat barrier atau mekanik yang baik, tetapi tidak untuk keduanya. Oleh karena itu, dalam pembuatan edible film mungkin ditambahkan bahan yang bersifat hidrofobik untuk memperbaiki sifat penghambatan (barrier) pada edible film.

1.    Pembuatan Edible film

Film didefinisikan sebagai lembaran fleksibel, yang tidak berserat dan tidak mengandung bahan metalik dengan ketebalan kurang dari 0,01 inci atau 250 mikron. Film terbuat dari turunan selulosa dan sejumlah resin thermoplastik. Film terdapat dalam bentuk roll, lembaran dan tabung. Kemasan film dapat digunakan sebagai pembungkus, kantong, tas, dan sampul, mengemas tembakau, biskuit, kabel, tekstil, pupuk, pestisida, obat-obatan, mentega, produk kering yang beku untuk para astronot (Susanto, 1994). Krochta, et.al,. (1994), menjelaskan bahwa beberapa jenis polisakarida yang dapat digunakan untuk membuat edible film antara lain selulosa dan turunannya, hasil ekstraksi rumput laut (yaitu karaginan, alginate, agar dan furcellaran), exudates gum, kitosan,gum hasil fermentasi mikrobia, dan gum dari biji-bijian.

Menurut Kester dan Fenema (1986), film yang sesuai untuk produk buah-buahan segar adalah film dari polimer pektin karena sifat permeabilitasnya yang selektif dari polimer tersebut terhadap oksigendan karbondiokasida. Untuk memperkecil permeabilitasnya, terhadap uap air maka dalam polimer sering ditambahkan asam lemak. Pada umumnya pembuatan edible film dari satu bahan memiliki sifat sebagai barrier atau mekanik yang baik, tetapi tidak untuk keduanya. Interaksi antara dua jenis polimer sakarida membentuk jaringan yang kuat dengan sifat mekanis yang baik, tetapi tidak efisien sebagai penahan uap air karena bersifat hidrofil. Film dari lemak memiliki sifat penghambatan yang baik, tetapi mudah patah. Oleh karena itu, dalam pembuatan edible film sering ditambahkan bahan yang bersifat hidrofob untuk memperbaiki sifat penghambatan (barrier properties) edible film (Callegarin et.al., 1997)

Menurut Bureau dan Multon (1996), pembentukan edible film memerlukan sedikitnya satu komponen yang dapat membentuk sebuah matriks dengan kontinyuitas yang cukup dan kohesi yang cukup. Derajat atau tingkat kohesi akan menghasilkan sifat mekanik dan penghambatan film; sedangkan menurut Fenema (1976), umumnya komponen yang digunakan berupa polimer dengan berat molekul yang tinggi. Struktur polimer rantai panjang diperlukan untuk menghasilkan matriks film dengan kekuatan kohesif yang tepat. Kekuatan kohesif film terkait dengan struktur dan kimia polimer, selain itu jugadipengaruhi oleh terdapatnya bahan aditif seperti bahan pembentukikatan silang.

2.    Bahan tambahan Edible film

a)    Gliserol

Menurut Syarief, et.al,. (1989), untuk memperbaiki sifat plastik maka ditambahkan berbagai jenis tambahan atau aditif. Bahan tambahan ini sengaja ditambahkan dan berupa komponen bukan plastik yang diantaranya berfungsi sebagai plasticizer, penstabil pangan, pewarna, penyerap UV dan lain-lain. Bahan itu dapat berupa senyawa organik maupun anorganik yang biasanya mempunyai berat molekul rendah.

Plasticizer merupakan bahan tambahan yang diberikan pada waktu proses agar plastik lebih halus dan luwes. Fungsinya untuk memisahkan bagian-bagian dari rantai molekul yang panjang. Plasticizer adalah bahan non volatile dengan titik didih tinggi yang apabila ditambahkan ke dalam bahan lain akan merubah sifat fisik dan atau sifat mekanik dari bahan tersebut (Krochta, et.al.,1994). Plasticizer ditambahkan untuk mengurangi gaya intermolekul antar partikel penyusun pati yang menyebabkan terbentuknya tekstur edible film yang mudah patah (getas). Gliserol adalah senyawa golongan alkohol polihidrat dengan 3 buah gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalent). Rumus kimia gliserol adalah C3H8O3, dengan nama kimia 1,2,3 propanatriol. Berat molekul gliserol adalah 92,1 massa jenis 1,23 g/cm2 dan titik didihnya 209°C.

Gliserol memiliki sifat mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas larutan, mengikat air, dan menurunkan Aw. Rodrigeus.et.al,. (2006) menambahkan bahwa gliserol merupakan plasticizer yang bersifat hidrofilik, sehingga cocok untuk bahan pembentuk film yang bersifat hidrofobik seperti pati. Ia dapat meningkatkan sorpsi molekul polar seperti air. Peran gliserol sebagai plasticizer dan konsentrasinya meningkatkan fleksibilitas film. Molekul plasticizer akan mengganggu kekompakan pati, menurunkan interaksi intermolekul dan meningkatkan mobilitas polimer. Selanjutnya menyebabkan peningkatan elongasi dan penurunan Tensile strength seiring dengan peningkatan konsentrasi gliserol. Penurunan interaksi intermolekul dan peningkatan mobilitas molekul akan memfasilitasi migrasi molekul uap air.

Plasticizer menurunkan gaya inter molekuler dan meningkatkan mobilitas ikatan polimer sehingga memperbaiki fleksibilitas dan extensibilitas film. Ketika gliserol menyatu, terjadi beberapa modifikasi struktural di dalam jaringan pati, matriks film menjadi lebih sedikit rapat dan di bawah tekanan, bergeraknya rantai polimer dimudahkan, meningkatkan fleksibilitas film (Anonima,2007) dalam Arinda Karina Rachmawati (2009).

Menurut Liu dan Han (2005), tanpa plasticiser amilosa dan amilopektin akan membentuk suatu film dan suatu struktur yang bifasik dengan satu daerah kaya amilosa dan amilopektin. Interaksi-interaksi antara molekul-molekul amilosa dan amilopektin mendukung formasi film, menjadikan film pati jadi rapuh dan kaku. Keberadaan dari plasticizer di dalam film pati bisa menyela pembentukan double helices dari amilosa dengan cabang amilopektin, lalu mengurangi interaksi antara molekul-molekul amilosa dan amilopektin, sehingga meningkatkan fleksibilitas film pati.

Gliserol efektif digunakan sebagai plasticizer pada film hidrofilik, seperti pektin, pati, gel, dan modifikasi pati, maupun pembuatan edible film berbasis protein. Gliserol merupakan suatu molekul hidrofilik yang relatif kecil dan mudah disisipkan diantara rantai protein dan membentuk ikatan hidrogen dengan gugus amida dan protein gluten. Hal ini berakibat pada penurunan interaksi langsung dan kedekatan antar rantai protein. Selain itu, laju transmisi uap air yang melewati film gluten yang dilaporkan meningkat seiring dengan peningkatan kadar gliserol dalam film akibat dari penurunan kerapatan jenis protein.

b)   Pati tapioka

Semua pati yang terdapat secara alami tersusun dari dua macam molekul pektin (amilosa dan amilopektin). Amilosa merupakan polimer berantai lurus, α 1-4 glukosidik, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α 1-6 glukosidik. Molekul-molekul berrantai lurus, yaitu amilosa yang berdekatan dan bagian rantai yang lurus pada bagian luar atau ujungujung amilopektin tersusun dengan arah sejajar. Susunan tersebut membentuk bangunan yang kristalin dan kompak. Molekulmolekul bercabang, yaitu amilopektin mempunyai susunan yang kurang kompak/amorf, sehingga lebih mudah dicapai oleh air dan enzim (Whistler, et. al. dalam Anugrahati, 2001)

Wahyuni (2008) menjelaskan bahwa, pati mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan sifat-sifat produk pangan. Pati mampu berinteraksi dengan senyawa-senyawa lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga berpengaruh pada aplikasi proses, mutu, dan penerimaan produk. Karena kemampuannya, pati dijadikan bahan pelapis yang dapat dimakan (edible film). Edible film adalah lapisan tipis dan kontinyu yang terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi komponen makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan (film). Prinsip pembentukan edible film adalah interaksi rantai polimer menghasilkan agregat polimer yang lebih besar dan stabil. Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Dibandingkan dengan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu, komposisi zat gizi tepung tapioka cukupbaik sehingga mengurangi kerusakan tenun, juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna putih.

Menurut Krochta dan De Mulder-Johnston (1997), edible film dari tapioka memiliki sifat mekanik yang hampir sama dengan plastik dan kenampakannya transparan. Tepung tapioka meskipun dibuat dari bahan (singkong) dengan kandungan unsur gizi yang rendah, namun masih memiliki unsur gizi. Perbandingan unsur gizi pada singkong dan tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 1. berikut ini:


Tabel 1. Kandungan Unsur Gizi Dari Singkong Putih, Kuning dan Tepung Tapioka
No.
Kandungan Unsur Gizi
Singkong Putih
Singkong Kuning
Tepung Tapioka
1
Kalori (kal)
146,00
157,00
362,00
2
Protein (g)
1,20
0,80
0,50
3
Lemak (g)
0,30
0,30
0,30
4
Karbohidrat  (g)
34,70
37,90
86,90
5
Kalsium (mg)
33,00
33,00
0,00
6
Fosfor (mg)
40,00
40,00
0,00
7
Zat Besi (mg)
0,70
0,70
0,00
8
Vitamin A (SI)
0,00
385,00
0,00
9
Vitamin B1 (mg)
0,06
0,06
0,00
10
Vitamin C (mg)
30,00
30,00
0,00
11
Air (g)
62,50
60,00
12,00
12
Bahan Yang Dapat Dimakan
75,00
75,00
0,00
Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI, 1981

Tepung tapioka tidak termasuk di dalam golongan amilopektin, namun tepung tapioka memiliki sifat-sifat yang sangat mirip dengan amilopektin. Sifat-sifat tepung tapioka tersebut adalah :
Ø  Sangat jernih. Dalam bentuk pasta, amilopektin menunjukkan kenampakkan yang sangat jernih sehingga sangat disukai karena dapat mempertinggi mutu penampilan dari produk akhir.
Ø  Tidak mudah menggumpal. Pada suhu normal, pasta dari amilopektin tidak mudah menggumpal dan kembali menjadi keras.
Ø  Memiliki daya pemekat yang tinggi. Karena kemampuannya untuk mudah pekat, maka pemakaian pati dapat dihemat.
Ø  Tidak mudah pecah atau rusak. Pada suhu normal atau lebih rendah, pasta tidak mudah kental dan pecah (retak-retak). Dibandingkan dengan pati biasa, stabilitas amilopektin pada suhu amat rendah juga lebih tinggi.
Ø  Suhu gelisasi lebih rendah. Dengan demikian juga menghemat pemakaian energy.

Edible film dari pati tapioka termasuk ke dalam kelompok hidrokoloid, yang bersifat higroskopis. Umumnya film dari hidrokoloid mempunyai struktur mekanis yang cukup bagus, namun kurang bagus terhadap penghambatan uap air ( Krochta et. al, 1994 ). Pada kondisi kandungan uap air yang tinggi, film akan menyerap uap air dari lingkungannya.

c)    CaSO4

Menurut hasil penelitian Astuti dalam Koswara, et. al. (2002), untuk memperbaiki mutu gel cincau dapat ditambahkan bahan pengikat, antara lain pati, agar dan CaSO4. Penggunaan pati dengan konsentrat 0,1 % dari air pengekstrak; atau penambahan agar 0,02 % dari air pengekstrak; atau penambahan CaSO4 dengan konsentrasi 0,05 % dari bubuk daun cincau kering akan menghasilkan gel yang baik; baik untuk bubuk daun cincau kering jemur maupun kering oven.

3.    Sifat-sifat Edible film

Sifat fisik film meliputi sifat mekanik dan penghambatan. Sifat mekanik menunjukkan kemampuan kekuatan film dalam menahan kerusakan bahan selama pengolahan, sedangkan sifat penghambatan menunjukkan kemampuan film melindungi produk yang dikemas dengan menggunakan film tersebut. Beberapa sifat film meliputi kekuatan renggang putus, ketebalan, pemanjangan, laju transmisi uap air, dan kelarutan film.

a)    Ketebalan Film (mm)

Ketebalan film merupakan sifat fisik yang dipengaruhi oleh konsentrasi padatan terlarut dalam larutan film dan ukuran plat pencetak. Ketebalan film akan mempengaruhi laju transmisi uap air, gas dan senyawa volatile.

b)        Tensile strength (Mpa) dan Elongasi (%)

Pemanjangan didefinisikan sebagai prosentase perubahan panjang film pada saat film ditarik sampai putus (Krochta dan Mulder Johnston,1997). Menurut Krochta dan De Mulder Johnston (1997), kekuatan regang putus merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film dapat tetap bertahan sebelum film putus atau robek. Pengukuran kekuatan regang putus berguna untuk mengetahui besarnya gaya yang dicapai untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap satuan luas area film untuk merenggang atau memanjang.

c)         Kelarutan Film

Persen kelarutan edible film adalah persen berat kering dari film yang terlarut setelah dicelupkan di dalam air selama 24 jam.

d)        Laju Transmisi Uap Air

Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang hilang per satuan waktu dibagi dengan luas area film. Oleh karena itu salah satu fungsi edible film adalah untuk menahan migrasi uap air maka permeabilitasnya terhadap uap air harus serendah mungkin  Menurut Syarief, et.al (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi konstanta permeabilitas kemasan adalah :
Ø  Jenis film permeabilitas dari polipropilen lebih kecil dari pada polietilen artinya     gas atau uap air lebih mudah menembus polipropilen daripada polietilen.
Ø  Ada tidaknya " cross linking" misalnya pada konstanta
Ø  Suhu
Ø  Ada tidaknya plasticizer misal air
Ø  Jenis polimer film
Ø  Sifat dan besar molekul gas
Ø  Solubilitas atau kelarutan gas

Sifat fisik film meliputi sifat mekanik dan penghambatan. Sifat mekanik menunjukkan kekuatan film menahan kerusakan bahan selama pengolahan; sedangkan sifat penghambatan menunjukkan kemampuan film melindungi produk yang dikemas denganmenggunakan film tersebut. Beberapa sifat film meliputi kekuatan renggang putus, ketebalan, pemanjangan, laju transmisi uap air, dan kelarutan film.

4.    Edible Film dari Pektin

a.         Edible film pektin cincau hitam komposit asam stearat

Edible film dari pektin cincau hitam terbuat dari ekstrak daun janggelan 1,25% (b/v), tapioka 1% (b/v), asam stearat 0%; 10%; 20%; 30%; 4 0% (b/b ekstrak daun janggelan), gliserol 0,5 % (b/v), zein 5% (b/b ekstrak daun janggelan), serta etanol. Berdasarkan pengamatan di lapangan; gel cincau hitam bersifat tahan terhadap perebusan. Bila gel tersebut diserut tipis-tipis, kemudian direbus menghasilkan lapisan tipis. Apabila lapisan tipis gel cincau hitam dikeringkan mempunyai sifat amat rekat terhadap cetakan tidak mudah robek dan tembus pandang. Sifat-sifat ini dapat digunakan dalam pembuatan edible film. Berdasarkan hasil penelitian Murdianto (2005), penambahan asam strearat mempengaruhi isifat fisik dan mekanik edible film cincau hitam. Peningkatan konsentrasi asam stearat menyebabkan kenaikan ketebalan tetapi menurunkan kuat regang putus, kelarutan dan laju transmisi uap air edible film yang dihasilkan.

b.         Edible Film Komposit Pektin Daging Buah Pala dan Tapioka

Pada penelitian yang dilakukan oleh Payung Layuk (2001) dalam Arinda Karina Rachmawati,2009  dilakukan penambahan tapioka dalam proses pembuatan edible film. Sebab tapioka juga menambah jumlah karbon dan gugus fungsional sehingga meningkatkan persen pemanjangan. Semakin tinggi tapioka yang digunakan maka semakin tinggi pula nilai tensile strength yang dihasilkan.
c.         Edible film pektin albedo semangka dan tapioka

Komposisi edible film pektin albedo semangka dan tapioka adalah pektin albedo semangka 1% (b/b pati), pati tapioka 2% (b/v), gliserol 1% (b/v) dan variasi asam palmitat 0%-8%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Anugrahati (2001) edible film dari pektin Albedo semangka ditambah dengan asam palmitat digunakan untuk menurunkan nilai permeabilitas, sebab asam palmitat bersifat hidrofob. Dijelaskan pula bahwa karena pektin yang digunakan memiliki sifat yang mudah membentuk gel, kental dan elastis, maka dihasilkan edible film yang memiliki nilai elongasi yang tinggi.

d.        Edible Film dari Campuran Protein biji Karet dan Kasein

Pada penelitian edible film dari campuran biji karet dan kasein yang dilakukan oleh Damat (1996), dihasilkan bahwa film yang dibuat dari pektin saja, menghasilkan matriks yang lebih elastic daripada film yang terbuat dari campuran pati dan pektin. Peningkatan konsentrasi pati mengakibatkan penurunan kemampuan memanjang film bila dikanai gaya tarik.

B.       Pektin

Hidrokoloid banyak digunakan dalam aneka ragam olahan pangan, sifatnya dikehendaki karena dapat membentuk gel. Pada umumnya hidrokoloid tanaman terdiri atas senyawa polisakarida, dan memang telah diduga bahwa penyusun senyawa yang menentukan sifat penjendalan cincau adalah senyawa polisakarida (Haryadi, 1991). Komponen utama ekstrak cincau hijau yang membentuk gel adalah polisakarida pektin yang bermetoksi rendah. Karena kandungan utamanya adalah pektin maka ekstrak cincau hijau dapat dianggap sebagai sumber serat pangan yang baik. Menurut Esti (2001), pektin merupakan merupakan polimer dariasam D-galakturonat yang dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik. Sebagian gugus karboksil pada polimer pektin mengalami esterifikasi dengan metil (metilasi) menjadi gugus metoksil. Senyawa ini disebut sebagai asam pektinat atau pektin. Struktur asam pektinat atau pektin dapat dilihat sebagai berikut :
Gambar. 1 Struktur Pektin

Pektin pada tanaman sebagian besar terdapat pada lamela tengah dinding sel. Pada dinding sel tanaman tersebut pektin berikatan dengan ion kalsium dan berfungsi untuk memperkuat struktur dinding sel. Karena itu, untuk memaksimalkan proses ekstraksi, pektin harus dilepaskan dari ion kalsium. Cara yang dapat digunakan adalah dengan mengkelat ion kalsium dengan pengkelat logam. Salah satu pengkelat logam yang dapat digunakan adalah asam sitrat. Industri makanan menggunakan pektin sebagai suatu bahan untuk membuat jeli. Ini terutama dipakai pada makanan dengan bahan dasar buah seperti selai dan jeli. Pektin juga berguna pada bidang farmasi. Secara kimiawi, pektin adalah salah satu polisakarida linear. Pektin mengandung sekitar 300 sampai 1,000 unit monosakarida. Unit monosakarida dari Pektin adalah Asam D Glukoronat (Anonimb, 2008) dalamArinda Karina Rachmawati, (2009).

Menurut Syamsir (2008), bahan hidrokoloid dan lemak ataucampuran keduanya dapat digunakan untuk membuat edible film. Pektin merupakan salah satu bahan hidrokoloid yang termasuk golongan karbohidrat selain pati, alginat, gum arab, dan modifikasi karbohidrat lainnya, sehingga pektin dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan untuk pembuatan edible film.

C.      Cincau Hijau (Premna oblongifolia Merr.)

Cincau dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai minuman tradisional. Secara umum ada 2 jenis cincau, yaitu cincau hijau baikcincau hijau pohon (Premna oblongifolia Merr.,) maupun cincau hijau rambat (Cyclea barbata L Miers.), dan cincau hitam. Keduanya berbeda dalam hal warna, cita rasa, penampakan, bahan baku, dan cara pembuatannya. Secara konvensional cincau hijau dibuat dari daun cincau tanpa proses pemanasan sedangkan cincau hitam dibuat dari seluruhbagian tanaman janggelan dengan bantuan proses pemanasan dan penambahan pati serta abu “Qi” (Astawan, 2004).
Perbedaan antara cincau hijau pohon dengan cincau hijau rambat adalah cincau hijau pohon (Premna oblongifolia Merr.,) sering disebut cincau perdu. Jenis cincau ini tidak memanjat atau ambat seperti cincau hijau rambat (Cyclea barbata). Cincau perdu merupakan tanaman perdu yang dapat bercabang banyak sehingga jika pertumbuhannya baik dan tidak kekurangan air maka tanaman ini sangat rimbun. Cincau perdu dapat tumbuh baik di daerah yang berketinggian 50-1000 meter di atas permukaan laut dengan kondisi tidak kekurangan air (Sunanto, 1995). Sedangkan dalam (Anonimc, 2008) dalam Arinda Karina Rachmawati, (2009) dijelaskan bahwa tumbuhan cincau hijau (C. barbata Miers.) merambat, memiliki daun berwarna hijau pucat dengan rambut di atas permukaannya. Pada penelitian ini digunakan bahan baku berupa cincau hijau pohon (Premna oblongifolia Merr.), hal ini disebabkan jenis cincau inilah yang banyak ditemukan di lingkungan sekitar. Cincau hijau merupakan tanaman obat yang dapat dikonsumsi dalam bentuk pangan fungsional, seperti makanan pencuci mulut dan healthy snack. Secara tradisional tanaman ini digunakan sebagai obat penurun panas, obat radang lambung, menghilangkan rasa mual, hingga penurun darah tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak air cincau dapat menurunkan sel kanker. Bahkan ekstrak dari akar cincau mempunyai aktivitas sebagai antioksidan. Beberapa komponen yang berperan aktif dalam cincau adalah karotenoid, flavonoid, dan klorofil (Mardiah, et.al., 2007). Manfaat suatu bahan pangan dapat dilihat dari kandungan gizinya. Berbagai informasi menunjukkan cincau tidak perlu diragukan peranannya sebagai bahan pangan dan diyakini sebagai tanaman berkhasiat obat. Beberapa kandungan gizi dalam cincau hijau sebagai berikut

Tabel. 2  Kandungan gizi cincau hijau per 100 gram bahan
No .
Komponen Zat gizi
Jumlah
1
Kalori (kal)
122
2
Protein (gram)
6,0
3
Lemak (gram)
1,0
4
Hidrat Arang (gram)
26,0
5
Kalsium (miligram)
100
6
Fosfor (miligram)
100
7
Besi (miligram)
3,3
8
Vitamin A (SI)
107,5
9
Vitamin B1
80,00
10
Vitamin C (gram)
17,00
11
Air (gram)
66,00
12
Bahan Yang Dapat Dicerna (%)
40,00
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan Indonesia, dalam Pitojo dan Zumiyati (2005).

Pembuatan bubuk cincau diawali dengan mencuci daun cincau segar dengan air dingin, kemudian dikeringkan dengan oven 500OC selama 18 jam atau dijemur dari jam 08.00 sampai 15.00 selama tiga hari (total 21 jam). Kemudian daun yang sudah kering tersebut digiling dan diayak dengan ayakan berdiameter 0.5 milimeter. Jika akan dibuat gel cincau, bubuk cincau dimasukkan ke dalam kantung kain yang berfungsi sebagaipenyaring, kemudian ditambah air, diekstrak dengan cara  pengadukan selama 2.5 menit lalu diperas. Air yang digunakan ialah air yang telah dimasak dan didinginkan sampai suhu kamar (Koswara, 2008).

D.  Sekilas Tentang Mangga (Mangifera Indica)
Mangga atau mempelam adalah nama sejenis buah, demikian pula nama pohonnya. Mangga termasuk ke dalam marga Mangifera, yang terdiri dari 35-40 anggota, dan suku Anacardiaceae. Nama ilmiahnya adalah Mangifera indica.Pohon mangga termasuk tumbuhan tingkat tinggi yang struktur batangnya (habitus) termasuk kelompok arboreus, yaitu tumbuhan berkayu yang mempunyai tinggi batang lebih dari 5 m. Mangga bisa mencapai tinggi 10-40 m.Nama buah ini berasal dari Malayalam maanga. Kata ini dipadankan dalam bahasa Indonesia menjadi mangga; dan pada pihak lain, kata ini dibawa ke Eropa oleh orang-orang Portugis dan diserap menjadi manga (bahasa Portugis), mango (bahasa Inggris) dan lain-lain. Nama ilmiahnya sendiri kira-kira mengandung arti: “(pohon) yang berbuah mangga, berasal dari India”. Berasal dari sekitar perbatasan India dengan Burma, mangga telah menyebar ke Asia Tenggarasekurangnya semenjak 1500 tahun yang silam. Buah ini dikenal pula dalam berbagai bahasa daerah, seperti pelem atau poh (Jw).(Anonimd,2010)




Tabel. 3 Klasifikasi Ilmiah tanaman Mangga :
Kingdom
Plantae
Subkingdom
Tracheobionta
 Super Divisi
Spermatophyta
Divisi
Magnoliophyta
Kelas
Magnoliopsida
Sub Kelas
Rosidae
Ordo
Sapindales
Famili
Anacardiaceae                        
Genus
Mangifera
Spesies
Mangifera Indica

E.  Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Kerusakan Pada Sayuran Dan Buah (Produk Hortikultura)

a.    Relatif Humidity (Kelembaban Relatif)

Relatif humidity (RH) ruangan di mana produk hortikultura disimpan akan mempengaruhi kualitas produknya. Apabila RH ruang simpan produk hortikulura terlalu rendah maka akan menyebabkan produk hortikulura yang disimpan akan mengalami kelayuan dan pengkerutan yang lebih cepat. Tetapi sebaliknya apabila RH ruang simpan produk hortikultura terlalu tinggi juga akan mempercepat proses kerusakan produk simpanan, karena akan memacu munculnya jamur-jamur pada produk simpanan. Pada RH mendekati 100 % akan memberikan kondisi yang cukup baik bagi pertumbuhan jamur atau pertumbuhan jamur akan sangat hebat sehingga sampai pada bagian dinding ruang simpan juga bagian atapnyapun akan ditumbuhi jamur.

b.    Sirkulasi Udara

Pergeseran atau sikulasi udara diruang penyimpanan yang cepat selama proses precooling produk simpanan dimaksudkan untuk menghilangkan panas dari produk hortikultura yang dibawa dari lapang, setelah panas dari lapang tersebut dipindahkan maka selanjutnya kecepatan sirkulasi udaranya dikurangi. Di dalam ruang penyimpanan sirkulasi udara diperlukan dengan tujuan agar panas yang terjadi selama berlangsungnya proses respirasi dari produk dapat diturunkan atau dihilangkan juga dengan maksud untuk menyeragamkan kondisi /suhu ruang simpan dari ujung satu dengan ujung yang lainnya.

c.    Respirasi

Produk hortikultura yang disimpan dalam bentuk segar baik itu sayur-sayuran ataupun buah-buahan proses yang terjadi dalam produk adalah respirasi. Dalam proses respirasi ini akan terjadi perombakan gula menjadi COdan air (H2O).

F.       Usaha Untuk Mengurangi Kerusakan Pada Buah Dan Sayur (Produk Hortikultura)

1.       Sanitasi

Ruang penyimpanan produk hortikultura perlu dipelihara dalam kondisi yang bersih dan sehat hal ini sangat penting dilakukan untuk menjaga agar produk hortikultura yang disimpan tetap dapat terjaga dalam kondisi segar. Ruang penyimpanan yang dijaga tetap dalam kondisi bersih dan sehat akan memperkecil serangan jamur dan organisme lainnya.
Dalam sanitasi sering dipergunakan senyawa kimiawi yang bersifat racun seperti insektisida, untuk penggunaannya perlu memperhatikan konsep keamanan pangan/HACCP.

2.          Refrigeration

Tujuan dari refrigerasi dalam ruang penyimpanan produk hortikultura terutama adalah untuk menekan aktivitas enzym respirasi, agar aktivitasnya menjadi serendah mungkin sehingga laju respirasinya sekecil/selambat mungkin produk hortikultura yang disimpan tetap terjaga kesegarannya.

3.         Pelilinan (Waxing)

Perlakuan dengan menggunakan lilin atau emulsi lilin buatan pada produk hortikultura yang mudah busuk yang disimpan telah banyak dilakukan. Maksud dari pelilinan pada produk yang disimpan ini terutama adalah untuk mengambat sirkulasi udara dan menghambat kelayuan (menjadi layunya produk simpanan), sehingga produk yang disimpan tidak cepat kehilangan berat karena adanya proses transpirasi.

4.          Irradiasi

Pengendalian proses pembusukan produk hortikultura yang disimpan serta perpanjangan umur simpannya baik itu produk buah-buahan maupun sayur-sayuran segar dapat dilakukan dengan perlakuan penyinaran dengan mempergunakan sinar Gamma.

5.          Perlakuan Kimiawi dan Fumigasi

Perlakuan dengan menggunakan senyawa kimiawi telah banyak dipergunakan dalam usaha memperpanjang lama penyimpanan produk-produk pertanian termasuk produk hortikultura baik buah-buahan maupun sayur-sayuran, dan dapat dikatakan sebagai cara yang umum dilakukan atau biasa dilakukan. Yang harus diperhatikan dalam pemakaian senyawa kimia adalah penggunaan tetap menjaga keamanan pangan sehingga tidak memberikan dampak yang merugikan bagi keselamatan manusia mengingat produk hortikulura merupakan produk yang dikonsumsi dan sering dikonsumsi dalam bentuk mentah / bukan olahan.

6.          Pengemasan.
              Upaya lain untuk memperpanjang waktu simpan produk hortikultura adalah dengan pewadahan / pengemasan yang baik. Dengan pewadahan ini diharapkan paling tidak dapat mengurangi terjadinya kerusakan.

F.   Definisi Operasional

Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penafsiran istilah istilah yang digunakan dalam penelitian ini maka penulis memaparkan arti dari istilah-istilah tersebut dibawah ini :
1.         Edible film adalah lapisan tipis yang terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi komponen makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai barrier terhadap transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipid, cahaya, dan zat larut), dan atau sebagai carrier bahan makanan atau bahan tambahan, serta untuk mempermudah penanganan makanan.
2.         Pektin adalah pektin merupakan merupakan polimer dariasam D-galakturonat yang dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik. Sebagian gugus karboksil pada polimer pektin mengalami esterifikasi dengan metil (metilasi) menjadi gugus metoksil
3.         Pengemasan adalah suatu metode pengawetan bahan makanan.

G. Hipotesis

Terdapat konsentrasi mangga terbaik dengan penambahan edible film pektin cincau hijau dengan konsentrasi yang tepat.