Jumat, 30 Maret 2012

Karya Tulis Ilmiah (IPS dan Kemanusiaan)


BAB I
PENDAHULUAN


A.       Latar Belakang Masalah
Indonesia dikenal sebagai negara maritim yang menduduki peringkat keempat pantai terpanjang di dunia setelah Amerika Serikat, Kanada dan Rusia dengan garis pantai 795.181 Km. Dari 67.349 desa di Indonesia kurang lebih 8.090 desa dikategorikan sebagai desa pesisir. Disamping sebagai negara maritim, Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 pulau. Hal ini menyebabkan sebagian besar masyarakat tinggal dan menempati daerah pesisir.
Sistem perekonomian masyarakat di wilayah pesisir pantai cenderung menggantungkan hidupnya pada pemanfaatan potensi sumber daya laut atau lebih dikenal dengan sistem perekonomian perikanan. Sedangkan untuk sektor lain masih tergolong kedalam skala minoritas. Sistem perekonomian perikanan merupakan paru-paru bagi kehidupan mereka yang seyogyanya merupakan tumpuan mata pencaharian guna kelangsungan hayati mereka.
Subjek-subjek yang terlibat dalam sistem perekonomian perikanan terbagi menjadi 4 golongan, yaitu nelayan, peminjam modal, penjual ikan dan pemborong ikan. Namun, nelayan dan peminjam modal merupakan golongan sentral dalam sistem perekonomian ini.
Sebagian besar nelayan yang ada di Indonesia tergolong nelayan tradisional dan buruh nelayan (Kusnadi, 2007b:1). Posisi sebagai nelayan tradisional dan buruh ini membuat mereka menjadi masyarakat yang memiliki akses terbatas terhadap sumber daya perairan dan masih dikendalikan oleh nelayan besar. Misalnya saja nelayan besar yang memakai teknologi baru membuat nelayan tradisional kesulitan dalam menagkap ikan dan buruh nelayan yang bekerja pada nelayan besar seolah dibuat tidak bisa lepas dari kekuasaan nelayan besar tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah sosial-ekonomi yang sulit diselesaikan oleh para nelayan di Indonesia. Salah satu implikasinya adalah kemiskinan.
Sistem mata pencaharian masyarakat nelayan yang umumnya tertuju pada sektor perikanan laut, memaksa mereka untuk selalu selaras dengan alam. Dimana kondisi ini menyebabkan para nelayan bergantung dan dipengaruhi oleh alam. Karakteristik inilah yang kemudian berimplikasi pada tingkat pendapatan dan resiko yang mungkin terjadi saat penangkapan ikan di laut. Untuk mengantisipasi masalah tersebut, maka jaringan atau relasi patron (pemilik modal)-klien (nelayan) yang sangat kuat, beragam dan mencakup semua segi ekonomi masyarakat tumbuh dan berkembang pada masyarakat nelayan.
Relasi patron-klien ini merupakan cara terakhir yang dilakukan nelayan pada saat mereka mengalami kesulitan untuk mencukupi kebuthan hidupnya. Relasi patron-klien ini juga berkembang karena sampai dengan saat ini nelayan masih belum menemukan lembaga/ institusi yang mampu menjamin dan mampu mengakomodasi kebutuhan sosial-ekonomi nelayan.
Hal inilah yang kemudian menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut, yaitu mengenai bagaimana peranan sistem Langgan sebagai suatu relasi patron-klien yang berkembang di Desa Muara-Binuangeun dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat nelayan di desa tersebut. Maka dari itu, dalam penyusunan karya tulis ini penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian yang berjudul “Langgan Dalam Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Nelayan di Desa Muara-Binuangeun, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak - Banten”.

B.        Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah penelitian yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut.
1.         Bagaimanakah sejarah perkembangan Langgan di Desa Muara-Binuangeun?
2.         Bagaimanakah mekanisme sistem Langgan di Desa Muara-Binuangeun?
3.         Bagaimanakah peranan Langgan dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat nelayan di Desa Muara-Binuangeun?

C.        Tujuan Penelitian
Tujuan mengkaji permasalahan di atas adalah sebagai berikut.
1.         Untuk mengetahui sejarah perkembangan Langgan di Desa Muara-Binuangeun.
2.         Untuk mengetahui dan mengidentifikasi mekanisme sistem Langgan di Desa Muara-Binuangeun.
3.         Untuk mengetahui dan mengidentifikasi peranan Langgan dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat nelayan di Desa Muara-Binuangeun.

D.       Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagaiberikut.
1.      Bagi peneliti : dapat menganalisis bagaimana peranan Langgan dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat nelayan di Desa Muara-Binuangen.
2.      Bagi akademisi : dapat dijadikan sebagai sumber informasi ataupun referensi bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya. Disamping itu juga dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan untuk yang membacanya.
3.      Bagi masyarakat : penelitian ini diharapkan akan berkontribusi dalam memberikan informasi dan pemahaman tentang mekanisme sistem Langgan yang berkembang pada masyarakat nelayan di Desa Muara-Binuangeun.
4.      Bagi pemerintah : penelitian ini dapat dijadikan informasi yang diharapkan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam menentukan kebijakan pembangunan.










BAB II
KAJIAN TEORI


A.       Sistem Sosial dan Ekonomi Masyarakat Nelayan
Masyarakat nelayan merupakan komunitas masyarakat yang umumnya hidup di sekitar pantai dan bermata pencaharian atau mencari nafkah di laut. Kusnadi (2007b:63), mendefinisikan desa nelayan sebagai suatu desa dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai penangkap ikan di laut. Sementara Satria (2009b:24), mendefinisikan masyarakat pesisir sebagai

“Sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sebagai sumber daya pesisir”.

Jadi, laut merupakan lahan sekaligus sumber mata pencaharian bagi mereka. Sebagian besar nelayan yang ada di Indonesia tergolong nelayan tradisional dan buruh nelayan (Kusnadi, 2007b:1). Posisi sebagai nelayan tradisional dan buruh ini membuat mereka menjadi masyarakat yang memilki akses terbatas terhadap sumber daya perairan dan masih dikendalikan oleh nelayan besar. Misalnya saja nelayan besar yang memakai teknologi baru membuat nelayan tradisional kesulitan dalam menagkap ikan dan buruh nelayan yang bekerja pada nelayan besar seolah dibuat tidak bisa lepas dari kekuasaan nelayan besar tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah sosial-ekonomi yang sulit diselesaikan oleh para nelayan di Indonesia. Salah satu implikasinya adalah kemiskinan.
Satria (2009b:25) menggambarkan posisi nelayan di Indonesia dalam sebuah tabel di bawah ini.





Tabel 2.1  Kondisi umum masyarakat pesisir di Indonesia tahun2002.
No.
Kondisi Masyarakat Pesisir
Jumlah
1
Desa Pesisir
8.090 desa
2
Masyarakat Pesisir
-         Nelayan
-         Pembudidaya
-         Masyarakat Pesisir Lainnya
16.420.000 jiwa
4.015.320 jiwa
2.671.400 jiwa
9.733.280 jiwa
3
Persentase yang hidup dibawah garis kemiskinan (32,14%)
5.254.400 jiwa
Sumber     : DKP (2007)
Secara garis besar, kemiskinan pada masyarakat nelayan dapat diklasifikasikan menjadi tiga berdasarkan faktor penyebabnya, yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan alamiah. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh struktur sosial, ekonomi dan sistem politik yang tidak kondusif dan selalu berubah-ubah seiring perubahan yang terjadi pada sistem pemerintahan. Kemiskinan kultural lebih banyak disebabkan oleh faktor kebudayaan masyarakat misalnya kemalasan, sifat konsumtif, berfikir fatalistik dan sebagainya sehinggga kondisi masyarakat nelayan cenderung lemah. Sedangkan kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alam yang tidak dapat dikontrol dan sumber daya alam yang terbatas untuk dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan (Satria, 2009:25). Ketiga jenis kemiskinan ini saling berkaitan satu sama lain. Ketiga jenis kemiskinan ini pulalah yang mengakibatkan sistem patron-klien dalam sistem pola nafkah nelayan sampai saat ini berkembang dengan baik. Dimana sistem patron-klien ini bukan memberikan kesejahteraan, malah memperburuk keadaan nelayan.
Sistem mata pencaharian masyarakat nelayan yang umumnya tertuju pada sektor perikanan laut, memaksa mereka untuk selalu selaras dengan alam. Dimana kondisi ini menyebabkan para nelayan bergantung dan dipengaruhi oleh alam. Karakteristik inilah yang kemudian berimplikasi pada tingkat pendapatan dan resiko yang mungkin terjadi saat penangkapan ikan di laut. Untuk mengantisipasi masalah tersebut, maka jaringan atau relasi patron (pemilik modal)-klien (nelayan) yang sangat kuat, beragam dan mencakup semua segi ekonomi masyarakat tumbuh dan berkembang pada masyarakat nelayan.
Relasi patron-klien ini merupakan cara terakhir yang dilakukan nelayan pada saat mereka mengalami kesulitan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Masyhuri dan Nadjib (2000:12-13), di dalam bukunya mengatakan bahwa terdapat tiga cara yang dilakukan nelayan pada saat mereka mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Cara yang pertama adalah melalui “lawuhan” setiap kali melaut. “Lawuhan” adalah hak nelayan ABK untuk mengambil ikan secukupnya ketika melaut untuk keperluan lauk-pauknya sehari-hari. Ikan hasin lawuhan ini biasanya dijual dan hasilnya digunakan untuk keperluannya sehari-hari. Apabila hasil lawuhan ini tidak mencukupi kebutuhan mereka, maka cara yang kedua adalah mejual barang-barang yang mereka miliki, atau istilahnya disebut “sangon barat”. Pada musim barat, nelayan biasanya sulit melaut akibat cuaca buruk. Pendapatan yang besar pada awal musim barat merupaka bekal pada musim barat (biasanya disimpan dalam bentuk barang-barang rumah tangga seperti TV atau alat elektronik lainnya). Jika musim barat masih berkepanjangan dan cara kedua tadi tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka, mka cara ketiga adalah dengan meminjam uang pada juragan darat temapat mereka bekerja. Fenomena seperti ini merupakan latar belakang suburnya hubungan patron klien di kalangan masyarakat nelayan antara juragan darat/tengkulak/tokeh dengan nelayan.
Relasi patron-klien ini juga berkembang karena sampai dengan saat ini nelayan masih belum menemukan lembaga/institusi yang mampu menjamin dan mampu mengakomodasi kebutuhan sosial ekonomi nelayan. Satria (2009a), mengutip kembali Legg (1983) dalam Masyhuri (1999), mengungkapkan bahwa hubungan patron klien secara umum berkaitan dengan :
“1.  Hubungan diantara pelaku yang menguasai sumber daya tidak sama.
2.    Hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi yang mengandung kekerabatan.
3.    Hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan.”
Berdasarkan hal tersebut di atas, terlihat adanya tingkat penguasaan yang berbeda terhadap sumber daya. Patron (pemilik modal) menguasai sumber daya modal lebih besar dari pada kliennya (nelayan). Tingkat penguasaan sumber daya yang berbeda ini mengakibatkan posisi tawar nelayan menjadi rendah. Implikasinya adalah timbul ketergantungan terhadap patronnya dalam hal modal untuk usaha sebagai nelayan. Kondisi ini dikelola oleh para patron untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari para kliennya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya kemiskinan yang sulit untuk diselesaikan. Semula nelayan berharap akan sama-sama menguntungkan, akan tetapi pada kenyataannya hubungan ini berubah menjadi hubungan yang sifatnya mengeksploitasi nelayan lokal (klien), dan pola hubungan ini sengaja dipelihara oleh patronnya. Hal ini merupakan sisi negatif dari relasi patron-klien.
Masalah kemiskinan ini menjadi akar permasalahan dari berbagai permasalahan yang timbul pada masyarakat nelayan. Sehingga pembangunan yang dikembangkan pada nelayan disamping harus menyentuh aspek-aspek kelestarian lingkungan, juga harus melihat bagaimana menyelesaikan fenomena kemiskinan masyarakat nelayan.
B.        Kearifan Lokal
1.    Konsep Kearifan Lokal
Konsep kearifan lokal adalah sustu sistem pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu atau budaya tertentu yang berkembang dalam jangka waktu yang lama sebagai suatu hasil dari proses hubungan timbal balik antara masyarakat tersebut dengan lingkungannya (Marzali dalam Mumfangati, 2004).[1] Konsep inilah yang kemudian menjadi ciri khas masyarakat tertentu. Karena konsep kearifan lokal ini menjadi suatu norma yang memilki nilai-nilai tertentu yang harus dikembangkan untuk selanjutnya diwariskan oleh masyarakat pemiliknya secara turun-temurun.
Ruddle dalam Satria (2009:17), melakukan identifikasi karakteristik kearifan lokal pada masyarakat. Berdasarkan hasil identifikasinya ini menunjukan bahwa karakteristik kearifan lokal terdiri dari :

“1. Bersifat jangka panjang, empiris, berbasis observasi lokal, yang disesuaikan dengan kondisi lokal dan mampu mencakup sejumlah variasi lokal, serta bersifat rinci.
2. Berorientasi pada hal-hal praktis dan menyangkut perilaku, serta fokus pada tipe-tipe sumber daya dan spesies.
3. Terstruktur sehingga sebenarnya kompatible dengan konsep biologi dan ekologi barat, khususnya terkait dengan kesadaran akan keterkaitan ekologis dan pentingnya konservasi SDP.
4. Bersifat Dinamis.”

Prof. Nyoman Sirtha dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” (http://www.balipos.co.id) dalam Sartini (2005:112), menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa : nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus.

2.    Kasus-Kasus Aplikasi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan di Indonesia
1.       Rompong di Kawasan Pesisir Sulawesi Selatan
Rompong adalah suatu tradisi penguasaan perairan pantai yang sudah lama dikenal masyarakat Bugis – Makasar. Pemanfaatan perairan adalah sebagai daerah lokasi penangkapan ikan  dan lahan budidaya. Saat ini, penguasaan perairan wilayah pantai telah diarahkan untuk kegiatan budidaya laut (Satria, et al., (2001) dalam Biasane(2004)).
Tradisi rompong adalah suatu tradisi yang mengarah pada pemberian hak pengolahan atau pemanfaatan sumber daya perikanan di suatu kawasan yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan kesepakatan adat. Dalam praktiknya, perairan disektar rompong tertentu diklaim nelayan pemilik rompong sebagaimana layaknya hak milik. Konsekuensinya adalah dalam radius kurang dari satu hektar tidak seorangpun yang boleh melakukan penagkapan ikan selain pemilik rompong. Pengecualian terhadap larangan ini adalah penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap pancing. Hubungan kerja antara parrompong dengan nelayan pembantu (anagguru) adalah dengan sistem bagi hasil yaitu 50% dari hasil tangakapan bersih untuk nelayan rompong dan sisanya 50% untuk nelayan pembantu yang jumlahnya empat orang (Biasane, 2004).
     Dalam kaitan dengan kegiatan penangkapan ikan melalui sistem rompong, setiap parrompong mempunyai hak dan kewajiban. Hak – hak tersebut adalah : (1) Parompong memiliki hak menguasai atas perairan untuk menangkap ikan dalam wilyah disekitar rompongnya; (2) klaim atas perairan pantai itu dapat diwariskan dan di hibahkan; (3) terhadap rompong yang tidak dimanfaatkan lagi (tidak ada kegiatan dalam penangkapan ikan), pemilik rompong masih berhak dimintai persetujuannya manakala ada orang yang bermaksud menangkap ikan disekitar perairan tersebut (Saad, 1994). Adapun kewajijban para parrompong adalah : (1)Memberikan kesempatan pada orang lain untuk berlayar dalam wilayah yang diklaimnya; dan (2) Pihak parrompong diwajibkan memberikan kesempatan pada orang lain untuk menangakap ikan jika menggunakan alat tangkap pancing, (Biasane, 2004).
2.         Panglima Laot di Aceh
Panglima laot adalah pimpinan lembaga hukum di Provinsi Aceh yang memiliki kekuasaan dalam memanfaatkan sumberdaya dan melaksanakan aturan atau hukum adat laut. Berdasarkan catatan Prof. T. djuned, sejarah panglima laot sudah berlangsung sejak Sultan Iskandar Muda di Aceh (1607-1636). Di dalam Perda Nomor 2 Tahun 1990 tentang pembinaan dan pengembangan adat di Aceh, menyebutkan bahwa panglima laot memiliki empat tugas penting diantaranya adalah memimpin wilayah kelautan, pemimpin persoalan social nelayan, menyelesaikan sengketa di laut, dan pemimpin dalam melestarikan lingkungan hidup.
Di dalam melaksanakan tugasnya, panglima laot menggunakan konsep keberlanjutan yang masuk akal dan rasional dalam mengelola sumber daya perikanan berbasis masyarakat lokal. Tampak juga kearifan lokal masyarakat sangat diutamakan dalam pengelolaan sumberdaya. Misalnya :
1.     Adanya larangan pada hari Jum’at. Hari jum’at selain sebagai hari libur bagi para nelayan, juga memberikan kesempatan pada populasi ikan di laut untuk bertelur.
2.     Tidak diperbolehkan membuang barang bekas secara sembarangan. Hukum adat laut sudah mengatur sampai pada larangan membuang ikan yang telah ditangkap lebih.
3.     Hukum adat laut melarang menggunakan alat – alat yang tidak ramah lingkungan.
Bagi para pelanggar ketentuan ini, hukum adat laut memiliki sangsi yang tegas. Dimana para pelanggar tersebut akan diberi sanksi seluruh hasil tangkapan akan  disita atau kemungkinan yang kedua adalah dilarang melaut selama 3-7 hari. Hal ini menunjukan bahwa pengelolaan sumberdaya perairan secara tradisional yang dilakukan oleh lembaga adat laut di Aceh sangat rasional dan berwawasan lingkungan.
     Berdasarkan pada peraturan daerah (Perda) Nanggroe Aceh Darussalam, Pasal 1 Ayat 14 Nomor 7 tahun 2000, panglima laot didefinisikan sebagai “orang yang memimpin adat istiadat kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dibidang penangkapan ikan di laut, termasuk mengatur tempat atau wilyah penangkapan ikan dan penyelesaian sengketa”. Perda ini juga menjelaskan bahwa panglima laot adalah lembaga yang berwenang mengelola lembaga perikanan yang terdapat di wilayah perairan teluk.




























BAB III
METODOLOGI PENELITIAN


A.       Jenis Penelitian
Berdasarkan tujuan dalam memperoleh data, jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan jenis penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang fenomena yang diteliti. Fenomena yang diteliti tersebut adalah fenomena Langgan yang berkembang pada masyarakat nelayan di Desa Muara-Binuangeun, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak – Banten. Kemudian dari fenomena ini dicari hubungannya dengan kehidupan sosial-ekonomi masyakat nelayan di desa tersebut. Sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai peranan Langgan dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat nelayan di Desa Muara Binuangeun, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak – Banten.

B.        Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pemilihan metode ini didasarkan pada jenis data yang ingin diperoleh yaitu data kualitatif. Disamping itu, untuk mengetahui bagaimana peranan Langgan dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat nelayan di Desa Muara Binuangeun, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak – Banten dengan mengacu pada rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, maka metode kualitatif dianggap paling cocok untuk digunakan dalam penelitian ini.

C.        Penentuan Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini pada awalnya adalah setiap keluarga atau anggota masyarakat nelayan yang tinggal di tempat penelitian yaitu Desa Muara-Binuangeun. Akan tetapi, karena informan banyak yang menyarankan untuk mendatangi narasumber/ informan lain di luar tempat penelitian, maka akhirnya narasumber juga banyak dari luar desa penelitian.


D.       Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada masyarakat nelayan di Desa Muara-Binuangeun, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Adapun waktu penelitian dimulai dari tanggal 06 Mei 2010 sampai dengan 18 Mei 2010.

E.        Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang pertama yaitu mengumpulkan data-data penelitian dengan menggunakan teknik studi pustaka dan wawancara. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari pemerintah Desa Muara-Binuangeun berupa data profil desa, sumber data yang dimiliki oleh desa, luas dan batas-batas desa, serta sarana yang dimilki oleh desa dan data pustaka yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Sedangkan data primer diperoleh melalui pendekatan kualitatif, yaitu dengan wawancara mendalam (in depth interview) dengan informan atau narasumber.
Teknik selanjutnya adalah observasi dimana peneliti melakukan pengamatan langsung terhadap lokasi penelitian sehingga mendapatkan gambaran kejadian di lapangan dan selanjutnya dapat mendeskripsikan hasil observasi tersebut. Selain ketiga teknik di atas penulis juga mengguunakan teknik dokumentasi melalui foto-foto di lapangan.

F.         Teknik Analisis Data
Teknik analisis data pada penelitian ini disesuaikan dengan metode penelitian yang digunakan, yaitu penelitian kualitatif. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dan diolah secara kualitatif dengan cara memberikan telaah pada setiap data yang berkaitan dengan masalah penelitian kemudian disusun secara sistematis, logis dan sesuai dengan fakta yang ada saat ini.







BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN


A.       Letak Geografis
1.         Secara Administrasi Pemerintahan
Desa Muara terletak di Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pemerintahan Desa Muara terdiri dari 7 RW dan 27 RT.
2.         Batas – batas Desa Muara
Sebelah Utara             : Desa Cipedang, Kecamatan Wanasalam
Sebelah Selatan           : Samudera Indonesia
Sebelah Barat             : Desa   Cikiruh Wetan, Kecamatan Cikeusik,
  Kabupaten Pandeglang
Sebalah Timur             : Desa Wanasalam, Kecamatan Wanasalam

B.        Kondisi Geografis
Wilayah Desa Muara berada di pinggir Pantai Samudera Indonesia dan muara sungai Binuangeun.
1.             Luas Wilayah                                 : ±3.546    Ha
a.         Pemukiman                      : ±1.210    Ha
b.         Pekarangan                      : ±1.100    Ha
c.         Sarana Umum                  : ±   413,5 Ha
d.         Perkantoran                     : ±   312    Ha
e.         Perkebunan                      : ±   187    Ha
f.          Persawahan                     : ±     16    Ha
g.         Taman                              : ±   300    Ha
h.         Pekuburan Umum            : ±       7,5 Ha
2.         Ketinggian Wilayah             : 1 – 3 m dari permukaan laut
3.         Curah Hujan                         : ± 3000 mm/tahun
4.         Suhu Udara rata-rata                      : 29°C-33°C



C.        Keadaan Penduduk
1.         Jumlah Penduduk                           : 10.177 jiwa
Laki – laki                                            :   5.229 jiwa
Perempuan                                         :   4.948 jiwa
2.         Jumlah Kepala Keluarga (KK)         : 2.521 KK


D.       Tingkat Pendidikan Penduduk
1.    Lulusan Pendidikan Umum
Penduduk Buta Huruf  :         5 orang
Tidak tamat SD           :    611 orang
Tamat SD                    : 1.265 orang
Tamat SLTP                 : 1.370 orang
Tamat SLTA                 :    982 orang
Akademik (D1)                        :        7  orang
Akademik (D2)                        :      39 orang
Akademik (D3 )           :      14 orang
Sarjana (S1)                 :      35 orang
Sarjana (S2)                 :         5 orang
2.    Lulusan Pendidikan Khusus
Ponpes                         : 1.562 orang
Madrasah                    :    230 orang
Kursus                          :        5 orang

E.        Etnis Penduduk
1.    Aceh                : 2 orang
2.    Sunda               : 8.062 orang
3.    Jawa                : 2.100 orang
4.    Madura           : 2 orang
5.    Makassar         : 28 orang



F.         Mata Pencaharian Penduduk
1.         Petani                                                :  405 orang
2.         Buruh Tani                                        :  841 orang
3.         Pegawai Negeri Sipil                                    :  270 orang
4.         Pengrajin Industri Rumah Tangga    :  35 orang
5.         Pedagang Keliling                             :  150 orang
6.         Nelayan                                             :  5.530 orang
7.         Montir                                               :  25 orang
8.         Bidan Swasta                                                :  4 orang
9.           Pembantu Rumah Tangga              :  120 orang
10.     TNI                                                    : 6 orang
11.     POLRI                                                            : 15 orang
12.     Pensiunan PNS/POLRI/TNI                : 57 orang
13.     Pengusaha Kecil dan Menengah      : 1.752 orang
14.     Dukun Kampung terlatih                  : 5 orang
15.     Jasa Pengobatan Alternatif              : 1 orang
16.     Dosen Swasta                                    : 3 orang
17.     Pengusaha Besar                              : 17 orang
18.     Seniman                                            : 7 orang
19.     Karyawan Perusahaan Swasta          : 70 orang
20.     Karyawan Perusahaan Pemerintah  : 5 orang

G.       Sarana dan Prasarana
1.         Sarana Ibadah
a.      Jumlah Mesjid                               :   3 buah
b.      Jumlah Mushola                            : 17 buah
2.         Sarana Olahraga
a.      Lapangan Sepak Bola                    :    5 buah
b.      Lapangan Volley Ball                    :  14 buah
c.       Lapangan Basket                           :    -  buah
d.      Lapangan bulutangkis                   :    7 buah
e.      Lapangan Tenis Meja                    :    5 buah

3.         Prasarana Kesehatan
a.      Puskesmas                                     :   1 unit
b.      Apotek                                           :   1 unit
c.       Posyandu                                       :  12 unit
4.         Prasarana Pendidikan
a.      TK                                                  :    2 unit
b.      SD                                                  :    3 unit
c.       SLTP                                               :    1 unit
d.      SLTA                                               :    1 unit
e.      MI                                                  :    1 unit























BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A.       Sejarah Perkembangan Langgan di Desa-Muara Binuangeun
1.         Pengertian Sistem Langgan
Langgan merupakan suatu istilah bagi seseorang yang meminjamkan modal kepada nelayan yang akan melaut, yang dikenal pada masyarakat Desa Muara-Binuangeun, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Banten. Pinjaman modal yang diberikan pada nelayan tidak begitu saja diberikan dengan mudah tanpa adanya perjanjian di awal. Pinjaman yang diberikan tersebut disertai dengan adanya perjanjian dimana nelayan selain harus mengembalikan modal sejumlah yang sama dengan jumlah modal yang diterima, nelayan juga harus memberikan hasil tangkapannya sebesar 5% sampai dengan 10% (bahkan bisa lebih tergantung pada kesepakatan di awal) dari hasil tangkapan yang mereka peroleh saat melaut kepada Langgan. Disamping itu, hasil tangkapan yang diperoleh saat melaut harus dijual pada Langgan si pemberi modal dengan harga dibawah harga standar yang seharusnya diterima oleh nelayan. Modal yang biasanya diberikan pada nelayan diantaranya adalah  perahu, bahan bakar yang dibutuhkan untuk melaut, jaring, modal berupa uang, ataupun modal yang diberikan untuk memperbaiki perahu atau alat tangkap lainnya. Jika nelayan tidak mampu mengembalikan utangnya, maka Langgan biasanya menarik atau menyita barang-barang milik nelayan seharga utang yang dipinjamnya.

Modal nu dipasihken ka nelayan ku Langgan biasana mah mangrupa duit, tapi aya oge nu sanes duit sapertos BBM, jaring, sareng sajabana. Upami nelayan teu tiasa ngalunasan hutangna, biasana barang-barang nelayan ditarik hutang nu nilaina saageng modal nu ditambut nelayan. Misalna upami hutangna saharga sapuluh parahu, maka sapuluh parahu nelayan ditarik. (menurut DNF, pernyataan seorang nelayan Kursin).

Sistem Langgan yang berkembang pada masyarakat nelayan di Desa Muara-Binuangeun berlangsung dalam jangka waktu yang sangat lama dan diwariskan secara turun temurun pada generasi selanjutnya. Pada orang tua (nelayan) yang terlibat dalam sistem Langgan menganggap bahwa anak laki-lakinya yang akan membantu melunasi utang orang tuanya pada Langgan. Sedangkan bagi keluarga yang tidak memilki anak laki-laki, maka anak tertuanyalah yang akan membantu melunasi utang orang tuanya pada Langgan. Pada saat orang tuanya tidak mampu melunasi atau meninggal dunia, tidak sedikit Langgan yang mewariskan utang tersebut pada keluarga nelayan. Inilah yang menyebabkan Langgan menjadi kuat dan terus berkembang sampai dengan saat ini.
Keputusan untuk meminjam modal pada Langgan dilakukan pada saat nelayan mengalami kekurangan modal atau tidak memilki modal untuk melaut. Kekurangan modal/ tidak adanya modal untuk melaut biasanya terjadi pada saat musim paceklik, dimana pada musim ini nelayan tidak dapat melaut seperti biasanya. Kalaupun tetap pergi melaut, maka hasil tangkapannya sangat sedikit dan resiko bahaya melaut cukup besar. Jika musim paceklik ini berkepanjangan, maka proses peminjaman pada Langgan ini berlangsung secara terus-menerus. Kemudian pada saat musim paceklik berakhir, ikan kembali banyak dan nelayan dapat kembali melaut seperti biasanya, pada saat itulah nelayan melunasi utang-utangnya pada Langgan dari hasil melaut yang mereka peroleh. Keputusan untuk meminjam modal ataupun untuk kebutuhan lainnya, dianggap sebagai keputusan akhir yang dipilih oleh para nelayan dan merupakan suatu kebijakan nelayan untuk mempertahankan eksistensi mereka sebagai nelayan di tempat tersebut. Kondisi seperti itu terus dijaga oleh Langgan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari nelayan.
“Bicara nelayan desa Muara, maka tidak akan lepas dari pembicaraan masalah Langgan. Ibarat makan buah simalakama, tidak meminjam modal pada Langgan artinya nelayan tidak bisa melaut karena tidak memilki modal. Sementara jika meminjam modal pada Langgan, maka harus siap dengan bunga yang akan menjerat nelayan dalam utang yang tidak mungkin terbayar. Tapi untuk bertahan hidup, nelayan terpaksa meminjam modal pada Langgan. (Pernyataan YGI, seorang pengamat Langgan yang bekerja di TPI).”

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Langgan merupakan suatu mekanisme hubungan antara nelayan dengan pemberi modal (individu/kelompok) yang bersifat pribadi, diwariskan secara turun temurun dan merupakan kebijaksanaan lokal yang didalamnya terdapat aturan-aturan khusus/norma yang menentukan pola prilaku yang diterapkan oleh masyarakat nelayan di Desa Muara-Binuangen, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Banten. Mekanisme peminjaman pada sistem Langgan merupakan suatu cara-cara peminjaman dengan terlebih dahulu disepakati teknik-teknik pembayaran dan aturan khusus terhadap modal yang dipinjamkan oleh Langgan pada nelayan. Langgan dikatakan sebagai suatu sistem karena di dalamnya selain terdapat adanya orang yang memberi pinjaman (biasanya disebut Langgan), nelayan yang melakukan pinjaman, aturan-aturan khusus yang mengatur masalah Langgan, juga terdapat individu lain yang juga masih satu kesatuan dalam Langgan yaitu Bakul, Pelele, Nelayan, TPI, pemerintah dan masyarakat. Bakul adalah sekelompok orang yang menjual ikan dari Langgan pada konsumen atau pedagang ikan lainnya di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Sedangkan Pelele adalah orang yang membeli ikan dari Langgan atau Bakul yang kemudian di jual kembali pada masyarakat di luar TPI. Langgan sebenarnya suatu sistem patron-klien yang hampir sama pada masyarakat nelayan lainnya di Indonesia.

2.         Langgan Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Desa Muara-Binuangeun
Berdasarkan pengertial sistem Langgan yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Langgan merupakan suatu kearifan lokal masyarakat yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat nelayan di Desa Muara, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Banten. Langgan adalah suatu mekanisme hubungan antara nelayan dengan pemberi modal (indivudu/kelompok) yang bersifat pribadi, diwariskan secara turun temurun dan merupakan kebijaksanaan lokal yang didalamnya terdapat aturan – aturan khusus/norma yang menentukan pola prilaku yang diterapkan oleh nelayan di Desa Muara, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Banten.
Sebagai kearifan lokal masyarakat nelayan, Langgan memiliki karakteristik seperti halnya pada kearifan lokal pada umumnya. Karakteristik dari Langgan itu sendiri antara lain adalah sebagai berikut :
1.        Langgan dalam perkembangannya menjadi suatu lembaga yang melekat pada budaya lokal yang ada dan berkembang pada masyarakat nelayan di Desa Muara, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Banten.
2.        Langgan dengan segala aturan- aturan khusus yang mempengaruhi prilaku masyarakat nelayan memiliki orientasi pada hal-hal praktis yang disesuaikan dengan keadaan pada masyarakat nelayan yang bersangkutan dan bersifat jangka panjang.
3.        Langgan dalam proses perkembangannya memiliki ruang dan waktu serta bersifat dinamis atau selalu menyesuaikan terhdap berbagai perubahan yang mungkin mempengaruhi perubahan pada Langgan itu sendiri.

3.         Stratifikasi Sosial Masyarakat Nelayan Desa Muara-Binuangeun
Langgan yang ada di Desa Muara Binuangeun menempati tingkat yang paling tinggi dalam sistem stratifikasi sosial masyarakat. Orang-orang yang terlibat dalam Langgan secara umum adalah oranng-orang yang memiliki kekayaan dan memiliki kekuasaan di desa tersebut. Sementara urutan kedua setelah Langgan adalah para nelayan pemilik kapal ataupun para Bakul yang bekerja dalam penjualan hasil laut. Para nelayan pemilik kapal tidak semuanya memiliki peralatan melaut yang lengkap ataupun memiliki modal yang cukup untuk melaut. Sehingga tidak sedikit para nelayan pemilik kapal melakukan pinjaman modal pada Langgan. Sedangkan para Bakul, memiliki pekerjaan yang bergantung dari Langgan. Hasil melaut nelayan dijual pada Langgan, dan dari Langgan di jual pada Bakul-Bakul dan Pelele yang ada di TPI. Para Bakul dan Pelele dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan atau tangan kanan dari Langgan dalam penjualan ikan dari nelayan. Sebenarnya, sebalum Langgan membayar hasil tangkapan nelayan, terlebih dahulu Langgan menjual hasil tangkapan tersebut pada Bakul-Bakul atau Pelele. Hasil penjualan tersebut kemudiab diserahkan pada nelayan ssetelah dipotong bunga dan modal oleh Langgan berdasarkan perjanjian di awal dengan Langgan.
Sedangkan nelayan sendiri menempati urutan ketiga atau urutan palinh rendah dalam sistem stratifikasi sosial masyarakat. Jika digambarkan maka bentuknya menyerupai piramida, dimana posisi paling atas yang ditempati oleh Langgan relatif kecil atau sedikit yang menggambarkan Langgan dalam masyarakat jumlahnya sedikit. Sedangkan semakin kebawah, semakin besar menggambarkan bahwa semakin bawah posisi seseorang dalam piramida tersebut maka semakin banyak jumlah orang yang menempatinya sedangkan struktur sosialnya semakin rendah.

Gambar 5.1 Stratifikasi sosial masyarakat nelayan Desa Muara Binuangeun berdasarkan sistem mata pencaharian di laut.

4.         Struktur Organisasi Dalam Langgan
Sebagai suatu sistem yang sudah melembaga dalam kehidupan nelayan Desa Muara Binuangeun, Langgan memilki struktur keorganisasian, akan tetapi struktur ini tidak diakui secara hukum formal dan secara tertulis, melainkan struktur ini ada dan terbentuk dengan sendirinya (berdasarkan pengakuan masyarakat). Tidak ada satu pun yang tahu (berdasarkan hasil penelitian), bagaimana struktur ini terbentuk pada mulanya masyarakat hanya tahu bahwa struktur ini ada sejalan dengan berkembangnya usaha mereka di sektor perikanan laut/nelayan. Beberapa narasumber mengatakan bahwa Langgan dan struktur keorganisasian Langgan terbentuk pada saat usaha masyarakat di bidang perikanan laut (nelayan) dimulai. Adapaun waktunya masyarakat tidak mengetahuinya secara pasti. Akan tetapi beberapa   mengatakan bahwa Langgan kemungkinan besar bukan berasal dari masyarakat setempat, melainkan dibawa oleh para pendatang dari luar yang mencari nafkah di wilayah tersebut sebagai nelayan. Hal ini diduga, karena di desa Muara ternyata sangat banyak masyarakat pendatang terutama dari daerah Jawa dan Bugis.
Struktur organisasi dalam Langgan terdiri dari Langgan itu sendiri sebagai orang yang memberikan modal dan memiliki kekuasaan tertinggi dalam struktur organisasi tersebut. Kemudian di bawahnya terdiri dari bagian pemasaran hasil tangkapan dan bagian produksi atau nelayan. Bagian pemasaran itu terdiri dari Bakul dan Pelele. Bakul merupakan sekelompok orang yang menjual ikan di TPI. Disebut demikian karena menjual ikan dengan menggunakan bakul yang terbuat dari anyaman bambu dan Pelele merupakan sekolompok orang yang membeli ikan dari Bakul atau langsung dari Langgan serta nelayan untuk dijual atau dipasarkan kembali pada masyarakat. Pelele biasanya beroperasi di luar TPI. Pelele memasarkan ikan/hasil tangkapan nelayan langsung pada masyarakat.
Sedangkan bagian produksi terdiri dari Taweu dan Tekong/Juru Mudi/ Kapten. Peranan Taweu yaitu sebagai pemilik kapal/perahu dan terkadang merangkap sebagai Langgan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar – besarnya dan untuk menguasai seluruh hasil tangkapan nelayan. Sedangkan Tekong yang biasa disebut sebagai jurumudi/kapten/nahkoda kapal yang bertugas mengoperasikan atau memimpin pada bolga, kursin, bagang dan payang. Berdasarkan waktu operasinya maka dapat dibedakan yaitu Kursin dan Bagang beroperasi pada malam hari, Payang beroperasi dari pagi sampai sore hari, dan Bolga beroperasi siang dan malam hari.


Langgan

Bagian Pemasaran                       Bagian Produksi

Bakul                    Pelele              Taweu                 Tekong
Bolga   Kursin   Bagang   Payang

Gambar 5.2  Struktur kelembagaan pada Langgan di Desa Muara Binuangeun, Lebak-Banten.

Bolga adalah perahu besar yang singgah di tengah laut untuk menangkap ikan. Daya tampung atau kapsitas kapal Bolga dalam menampung ikan mencapai 200 – 300 ton ikan. Bolga biasanya beroperasi dalam waktu yang lama hingga berhari-hari. Nelayan desa Muara sendiri menuturkan bahwa di desa mereka tidak ada yang memiliki Bolga. Bolga berasal dari daerah lain (umumnya dari Makassar) yang singgah di wilayah penangkapan ikan desa Muara untuk mencari ikan. Kursin adalah alat tangkap ikan yang dipasang di tengah laut, menyerupai bentuk bangunan dimana di setiap pinggirnya memakai jaring yang berfungsi untuk menjebak ikan dan memakai penerangan untuk mengumpulkan ikan. Ikan yang tertangkap adalah berbagai jenis ikan yang mencari penerangan di malam hari. Sedangkan Bagang adalah alat tangkap ikan yang menyerupai Kursin hanya saja ukurannya lebih kecil dan jaring yang dipasang diangkat dengan cara dikerek. Bagang pada awalnyadikembangkan oleh para nelayan Bugis kemudian diadopsi oleh nelayan lokal di wilayah tersebut. Payang adalah perahu nelayan yang beroperasi pada siang hari dan menggunakan alat tangkap ikan berupa jaring atau pancing. Jaring yang digunakan biasanya berupa jaring rampus, gilnet, atau jaring kincang.

5.         Jenis Langgan Berdasarkan Pengelolaan Hasil Tangkapan Nelayan
a.    Langgan yang mengelola hasil tangkapannya sendiri
Di dalam menguasai hasil tangkapan nelayan di pelelangan ikan, tidak sedikit Langgan yang merangkap sebagai bagian pemasaran ataupun bagian produksi. Dengan merangkap beberapa jabatan/posisi ini, maka Langgan akan memperoleh bagian yang ganda sesuai dengan jabatannya. Misalnya saja, Langgan yang merangkap sebagai Taweu/pemilik kapal, juga bakul maka bagian yang diperolehnya adalah bagian dia sebagai Langgan dan sebaggai Taweu serta Bakul. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari proses penjualan hasil tangkapan ikan oleh nelayan.

b.   Langgan yang mengelola  hasil tangkapan bersama Bakul dan Pelele
Langgan dalam mempermudah penjualan/ pendistribusian hasil tangkapan nelayan, biasanya menggukan jasa Bakul dan Pelele. Melaui jasa Bakul dan Pelele ini, maka Langgan akan memperoleh uang hasil penjualan dengan cepat. Akan tetapi, keuntungan yang diperoleh menjadi berkurang karena terkurangi oleh Bakul/Pelele yang juga mencari keuntungan dari penjualan ikan di pasaran.

c.    Langgan yang merangkap Taweu
Cara lain dalam memperoleh keuntungan yang berlipat ganda adalah dengan cara selain sebagai Langgan, juga merangkap sebagai Taweu. DNF (31 tahun), menuturkan bahwa dalam memperoleh keuntungan yang besar, tidak sedikit Langgan yang juga merangkap sebagai Taweu. Dengan merangkap sebagai Taweu , maka selain mendapat keuntungan sebagai Langgan juga memperoleh keuntungan dari prrofesinya sebagai Taweu (keuntungan ganda). Cara ini dilakukan selain sebagai suatu cara dalam memperoleh keuntungan yang besar dari penjualan hasil tangkapan nelayan, juga sebagai cara dalam memonopoli hasil tangkapan nelayan. Cara ini dipandang efektif untuk menghindari kecurangan nelayan yang menjual hasil tangkapan pada Pelele.

6.         Faktor-Faktor Penyebab Nelayan Terlibat Langgan
Nelayan di Desa Muara, tergolong sebagai nelayan miskin. Penghasilan yang diterima nelayan setiap harinya rata-rata Rp. 15.000,- sampai dengan Rp. 25.000,- pada musim ikan sedang melimpah. Sementara jika musim paceklik tiba, penghasilan tersebut berada di bawah rata-rata bahkan tidak berpenghasilan sama sekali. Sebenanrnya keterlibatan nelayan pada Langgan, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Akan tetapi faktor-faktor ini mengerucut pada kemiskinan yang terjadi pada nelayan. Kemiskinan inilah yang menggiring masyarakat untuk terlibat dalam Langgan. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah :
a.    Kondisi Alam
Nelayan Desa Muara-Binuangeun mengenal adanya dua musim yang mempengaruhi aktivitas mereka saat mencari ikan dilaut. Dua musim tersebut diantaranya adalah musim angin selatan dan musim angin barat.
Musim angin selatan biasanya disebut dengan musim paceklik atau paila. Pada musim ini, intensitas tiupan angin sangat kencang dan ketinggian ombak sangat tinggi. Jarak tempat melaut pun menjadi lebih dekat bahkan banyak nelayan yang memutuskan untuk tidak pergi melaut. Hal ini berakibat pada menurunnya pendapatan nelayan.
Sedangkan musim angin barat adalah musim yang merupakan berkah bagi para nelayan Musim angin barat biasanya disebut sebagai musim panen ikan. Pada musim ini, kondisi alam sangat memungkinkan bagi nelayan untuk melaut. Intensitas tiupan angin dan ketinggian ombak pun relatif stabil sehingga memungkinkan nelayan untuk beraktivitas di laut untuk menangkap ikan. Seorang mantan nelayan, KYH (59 tahun) menuturkan bahwa :
“Nelayan penghasilanana jadi along (melimpah/banyak) lamun usim barat atawa usim teu caang bulan. Tapi mun caang bulan mah atawa usim hujan gede, biasana tara menang lauk jeng jarang nelayan nu ka laut da laukna geh sieuneun kana guludug jadi nyaramuni na karang.”

Nelayan akan menghasilkan ikan dengan jumalah yang sangat banyak di musim barat atau tidak sedang terang bulan. Tetapi apabila musim terang bulan atau musim hujan, biasanya akan menjadi sedikit. Pada musim ini biasanya banyak nelayan yang memutuskan untuk tidak pergi melaut karena berbahaya dan pada musim hujan biasanya ikan tidak ada yang mau keluar karena takut petir. Ikan akan bersembunyai di dalam karang sampai hujan reda. Akhirnya pendapatan nelayan menjadi kurang bahkan tidak berpendapatan sama sekali.

b.   Budaya Masyarakat yang Konsumtif
Kebiasaan yang terjadi pada nelayan di Desa Muara ternyata hampir sama dengan kebiasaan nelayan lain pada umumnya. Sikap pemborosan dan membeli barang-barang yang disukai pada musim barat (musim panen ikan), merupakan salah satu karakteristik dari masyarakat setempat. Sangat jarang sekali masyarakat yang menyisihkan uangnya untuk kebutuhan pada musim paceklik atau sebagai cadangan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendesak. Jika musim paila tiba, barang-barang tersebut akan dijual kembali dengan harga yang jauh lebih murah dari harga yang layak diterimanya. Terkadang hasil penjualan tersebut tidak mencukupi kebutuhan nelayan sementara musim paceklik masih berlangsung. Akhirnya, jalan satu-satunya untuk menyambung hidup dan agar dapat bertahan, nelayan terpaksa benyak yang terlibat dalam Langgan.

c.    Sikap Ketergantungan Nelayan Pada Alam
Sebagian besar masyarakat pesisir di Desa Muara-Binuangeun bermata pencaharian sebagai nelayan. Profesi sebagai nelayan dipilih karena  mata pencaharian ini dipandang yang paling potensial untuk dilakukan. Di sisi lain, mata pencaharian sebagai nelayan ini dipilih karena sebenarnya masyarakat tidak memilki kemampuan lain selain sebagai nelayan. Inilah yang menyebabkan masyarakat sangat bergantung pada alam.
Seiring perkembangan zaman, dimana jumlah penduduk semakin bertambah dan kebutuhan mulai meningkat sementara sumber daya di laut yang bisa dimanfaatkan sangat terbatas bahkan tidak potensial lagi, akhirnya masyarakat sering kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kehidupan nelayan yang bergantung dan dikendalikan oleh alam tidak lagi menjanjikan secara ekonomi. Sementara ketergantungan ini sudah membudaya dan sulit untuk dilepaskan, akhirnya terjadi kemiskinan pada nelayan.

d.   Program Pemerintah yang Tidak Mendukung Nelayan dan Tidak Tepat Sasaran
Pemerintah dengan berbagai kebijakannya berusaha untuk mensejahterakan masyarakat. Akan tetapi, realita di lapangan menunjukkan kebijakan ini justru tidak tepat sasaran bahkan dinilai cenderung tidak memihak masyarakat nelayan sebagai masyarakat sasaran. Hal ini terbukti dari lembaga keuangan atau koperasi yang merupakan kebijakan pemerintah untuk membantu masyarakat, ternyata tidak dapat mengakomodir kebutuhan nelayan.
Selain itu, adanya Temapat Pelelangan Ikan (TPI), di satu sisi memang menguntungkan bagi nelayan karena membantu dalam melakukan pendataan dan standarisasi hasil tangkapan sehingga akan mengurangi tindakan kecurangan oleh pihak yang akan membeli hasil tangkapan nelayan. Akan tetapi di sisi lain, TPI melakukan pemotongan beberapa persen sebagai balas jasa dan sebagai simpanan nelayan yang katanya akan dikembalikan kepada nelayan saat nelayan membutuhkannya. Kurang begitu jelas simpanan itu dialokasikan. Buktinya pada musim paceklik, tidak sedikit nelayan yang kesulitan secara ekonomi. Sebenarnya, ada atau tidaknya TPI, tidak dapat memberi perubahan ke arah yang lebih baik secara besar pada nelayan.
Kebijakan lain yang dinilai merugikan adalah naiknya harga BBM. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan kebutuhan pokok nelayan untuk melaut. Pada saat harga BBM naik di pasaran, sementara tidak diimbangai dengan naiknya harga tangkapan, menyebabkan pendapatan nelayan menjadi berkurang.

e.    Rendahnya Tingkat Pendidikan Nelayan
Tingkat pendidikan masyarakat nelayan di Desa Muara umumnya masih rendah. Rendahnya tingkat pendidikan ini disebabkan oleh ketidak mampuan masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu. Implikasinya adalah nelayan banyak dirugikan. Misalnya saja, kondisi ini banyak dimanfaatkan oleh Langgan pada saat membuat perjanjian/kesepakatan peminjaman modal. Perjanjian tersebut dinilai menguntungkan secara sepihak dan merugika nelayan. Inilah yang kemudian menjadi penyebab nelayan terjerat utang pada Langgan.

B.        Sistem Langgan dan Perubahannya
1.    Mekanisme Sistem Langgan di Desa Muara-Binuangeun
Proses kerjasama antara nelayan dengan Langgan ditandai dengan adanya serangkaian mekanisme yang terstruktur yang dimulai dengan adanya suatu perjanjian mengenai modal yang akan dipinjam oleh nelayan dari Langgan. Dalam perjalanannya, terlihat bahwa nelayan banyak dirugikan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam suatu sistem yang diterapkan oleh Langgan.
Setelah adanya kesepakatan antara Langgan dan nelayan dalam hal peminjaman modal, nelayan kemudian melaksanakan aktivitasnya dalam mencari ikan. Kemudian seluruh hasil tangkapan disetorkan pada Tempat Pelelangan Ikan (TPI) untuk di data hasilnya (umumnya didata jumlah hasil tangkapan, jenis ikan hasil tangkapan dan kualitas ikan) dengan diawasi oleh Langgan yang memberi modal pada nelayan tersebut. Pendataan ini biasanya disebut nota.
Setelah proses pencatatan hasil tangkapan nelayan selesai oleh petugas TPI, maka berikutnya petugas TPI melakukan pemotongan sebesar 8%. Potongan tersebut dibagi mmenjadi dua bagian yaitu 5% dibebankan pada nelayan yang akan dikembalikan pada nelayan sewaktu-waktu. Sedangkan 3% dibebankan pada pembeli di lelang sebagai pajak pembelian.
Selanjutnya setelah proses pemotongan selesai dilakukan oleh petugas TPI, maka hasil tangkapan nelayan tersebut dijual oleh Langgan pada Bakul-Bakul yang ada di TPI untuk kemudian dijual pada konsumen. Hasil penjualan tersebut kemudian diserahkan pada nelayan setelah sebelumnya dipotong harga oleh Langgan berdasarkan kesepakatan di awal. Pemotongan yang dilakukan oleh Langgan sebesar 5% sampai 10% bahkan lebih berdasarkan kesepakatan di awal. Sebelum proses pemotongan dilakukan oleh Langgan, terlebih dahulu dihitung jumlah pendapatan nelayan dari hasil penjualannya ke Bakul-Bakul. Jika hasil penjualannya mencapai Rp. 500.000,- maka akan dilakukan pemotongan bunga. Tetapi apabila penghasilan nelayan tidak mencapai Rp.500.000,- maka tidak dilakukan pemotongan, namun nelayan dikatakan nendo. Nendo adalah penundaan pembayaran bunga pad Langgan dikarenakan hasil tangkapan sedikit sehingga nelayan dikatakan belum mampu untuk membayar bunga pinjaman dan harus dibayar di lain waktu pada saat hasil tangkapan lebih dari Rp. 500.000,-.
Pemotongan yang dilakukan oleh Langgan tersebut, bukan sebagai pembayaran seluruh utang nelayan pada Langgan. Akan tetapi, sebagai pembayaran utang pokok atau gantung yang biasanya disebut sebagai bunga utang. Utang pokok atau gantung ini diantaranya adalah perahu dan jaring yang dipinjamkan atau diberikan pada nelayan sebagai modal. Sedangkan utang mati adalah bahan bakar dan makanan yang dibutuhkan pada saat melaut serta modal berupa uang yang harus dibayar kapan saja pada saat nelayan memilki uang untuk membayar utang tersebut baik dengan cara tunai ataupun dicicil.

2.    Mekanisme Alur Pemasaran Dalam Langgan
a.    Alur pemasaran dari Langgan ke Bakul dan Pelele
Hasil tangkapan nelayan yang dipimpin oleh Tekong, disetorkan pada Taweu yang memilki kapal atau juragan kapal. Taweu yang memperoleh modal/ pinjaman perlengkapan dan peralatan melaut dari Langgan kemudian menyetorkan hasil tangkapannya tersebut pada Langgan. Dari tangan Langgan ini kemudian dijual pada Bakul atau Pelele untuk kemudian dipasarkan pada masyarakat. Hasil tangkapan nelayan yang dijual pada Bakul ada yang langsung dijual pada masyarakat, ada juga yang dijual pada Pelele. Sedangkan hasil tangkapan yang dijual pada Pelele langsung dipasarkan pada masyarakat. Alur pemasaran ini dapat digambarkan sebagai berikut.

                                                                                        Pelele    masyarakat
                                                                      Bakul
Tekong          Taweu          Langgan                            masyarakat
                                                                       Pelele          masyarakat
Gambar 5.3            Alur pemasaran dari Langgan ke Bakul dan Taweu.

b.   Alur pemasaran dari Taweu ke Langgan dan Pelele
Pada tipe alur pemasaran ini, Pelele memperoleh hasil tangkapan langsung dari Taweu/ pemilik kapal dan dapat pula memperolehnya dari Bakul. Pada tipe ini Pelele dapat berposisi sebagai Langgan karena memberi modal pada nelayan atau bisa juga harga yang ditawarkan oleh Pelele lebih tinggi dari harga yang ditawarkan oleh Langgan sehingga nelayan langsung menjual hasil tangkapannya pada Pelele. Implikasinya timbul kecurangan dari nelayan dengan cara menjual separuh hasil tangkapan pada Pelele. Pelele juga dapat memperoleh hasil tangkapan dari Langgan. Apabila digambarkan maka gambar alur pemasarannya adalah sebagai berikut.

                                                                    Pelele        masyarakat
                                              Langgan                        masyarakat
Tekong          Taweu                                 Bakul         Pelele     masyarakat
                                               Pelele          masyarakat
Gambar 5.4            Alur pemasaran dari Taweu ke Langgan dan Pelele.

c.    Alur pemasaran dari Taweu ke Bakul dan Pelele
Mekanisme alur pemasaran yang ketiga ini pada dasarnya menunjukan adanya peran ganda dari Taweu yaitu selain sebagai Taweu juga berperan sebagai Langgan. Dengan demikian Taweu memperoleh keuntungan ganda. Sementara Pelele dapat memperoleh hasil tangkapan nelayan dari Taweu dan dari Bakul. Berikut ini adalah gambar yang menunjukan alur pemasaran dari Taweu ke Bakul dan Pelele.

                                                                                   Pelele        masyarakat
                                                                Bakul
Tekong          Taweu/Langgan                              masyarakat
                                                              Pelele         masyarakat
Gambar 5.5            Alur pemasaran dari Taweu ke Bakul dan Pelele.

d.   Alur pemasaran dari Tekong ke Taweu dan Pelele
Mekanisme alur pemasaran ini menunjukan posisi Taweu sebagai Taweu itu sendiri, sebagai Langgan, atau merangkap keduanya seperti alur pemasaran yang ketiga. Pada tipe yang keempat ini Pelele dapat memperoleh/membeli ikan pada Taweu, Langgan atau membelinya langsung pada Tekong. Penjualan ikan yang terjadi dari Tekong pada Pelele ini kasusnya sama pada tipe kedua maupun tipe ketiga dimana Pelele menawarkan harga yang lebih baik daripada Langgan. Sehingga Tekong menjual separuh hasil tangkapannya pada Pelele secara diam-diam. Dibawah ini adalah gambar yang menunjukan mekanisme alur pemasaran dari Tekong pada Taweu dan Pelele.

                                                                             Tekong
                                                               Taweu                    Pelele
                                       Langgan          Bakul          Pelele          masyarakat
                        Bakul     Pelele     Pelele     masyarakat     masyarakat
     masyarakat     Pelele     masyarakat     masyarakat
                           masyarakat
Gambar 5.6 Alur pemasaran dari Tekong ke Taweu dan Pelele.

e.    Alur pemasaran monopoli oleh Langgan
Mekanisme alur pemasaran yang terakhir adalah alur pemasaran yang menunjukan adanya monopoli oleh Langgan. Pada alur pemasaran yang kelima ini hasil tangkapan nelayan yang dipimpin oleh Tekong langsung dijual kepada Langgan. Langgan berperan sebagai Langgan itu sendiri, Taweu dan Bakul. Sementara untuk memperluas pemasaran maka hasil tangkapan dijual pada Pelele. Pelele menjual hasil tangkapannya pada masyarakat di luar TPI. Alur pemasaran yang kelima ini sangat jarang. Biasanya terjadi pada Langgan yang bermodal kecil. Ini merupakan salah satu mekanisme Langgan dalam memonopoli hasil tangkapan yang diperoleh nelayan. Berikut ini gambar alur pemasarannya.

                                                              masyarakat
Tekong                     Langgan
                                                              Pelele          masyarakat
Gambar 5.7            Alur pemasaran monopoli oleh Langgan.


3.    Pola Aplikasi Langgan : Dulu dan Sekarang serta Perubahannya
Perbedaan pola aplikasi Langgan dahulu dengan saat ini dibedakan berdasarkan keberadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan mekanisme sistem pembagian hasil nelayan dalam melaut. Sedangkan peran, fungsi, karakteristik dan bentuk dari Langgan itu sendiri relatif tidak menunjukan adanya perubahan.
Aplikasi Langgan di masa lalu melalui sistem bagi hasil yang dinilai sangat merugikan nelayan dan membuat nelayan semakin sulit dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pembagian hasil nelayan di masa lalu dibagi berdasarkan alat tangkap, perahu, tenaga yang mengoperasikannya (nelayan) dan Langgan itu sendiri sebagai pemilik modal. Langgan memperoleh tiga bagian (bagian untuk alat tangkap, perahu dan bagian untuk Langgan itu sendiri). Sementara nelayan hanya menerima satu bagian saja. Kemudian sistem bagi hasil ini berkembang menjadi sistem persentase, dimana Langgan menuntut keuntungan dari modal yang dipinjamkan pada nelayan sebesar 5% sampai 10% dari hasil tangkapan nelayan setiap melaut dan hasil tangkapan nelayan tersebut harus dijual pada Langgan dengan harga yang lebih murah, (YGI).
Mekanisme yang diterapkan oleh Langgan dahulu adalah setelah adanya kesepakatan dalam peminjaman modal, nelayan pergi melaut. Hasil tangkapan langsung disetorkan pada Langgan. Langgan kemudian menjual hasil tangkapan tersebut pada Bakul-Bakul yang ada di pasaran lokal. Hasil penjualan tersebut kemudian dikembalikan pada nelayan setelah dipotong terlebih dahulu oleh Langgan. Mekanisme pemotongan sama dengan yang dijelaskan sebelumnya berkisar antara  5% sampai 10% bahkan lebih.
Sedangkan praktek Langgan di masa sekarang terlihat lebih baik dan tidak terlalu merugikan nelayan. Dengan adanya TPI ternyata telah sedikit membantu nelayan untuk keluar dari belenggu sistem yang diterapkan oleh Langgan. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) berperan dalam pendataan hasil tangkapan nelayan sebelum disetorkan pada Langgan sehingga nelayan dapat mengetahui berapa jumlah tangkapan yang diperolehnya dan harga yang semestinya diterima. Dengan kata lain, TPI membantu dalam menentukan standarisasi harga dan pendataan jumlah yang harus diterima nelayan berdasarkan hasil tangkapannya.
Mekanisme selanjutnya sama saja denagn masa lalu, hanya saja sekarang nelayan tahu berapa penghasilan yang harus diterimanya dari Langgan. Langgan pun tidak dapat melakukan kecurangan dalam penjualan hasil tangkapan. Akan tetapi, kecurangan itu tetap terjadi di luar penjualan hasil tangkapan seperti kecurangan dalam menjual bahan bakar untuk melaut pada nelayan, kecurangan dalam kesepakatan bungan yang harus dibayar dan sebagainya. Apabila digambarkan, maka mekanisme yang diterapkan oleh Langgan antara dulu dan sekarang adalah sebagai berikut.
Langgan
Bakul/Pelele
Langgan
Nelayan
Langgan
Perjanjian Peminjaman Modal
 










Keterangan :                       = Hubungan Kerjasama
                                              = Hubungan Koordinasi/ perjalanan proses
Gambar 5.8     Mekanisme sistem Langgan di masa lalu.

Langgan
Bakul/Pelele
Langgan
Nelayan
Langgan
Perjanjian Peminjaman Modal
TPI
 











Keterangan :                       = Hubungan Kerjasama
                                              = Hubungan Koordinasi/ perjalanan proses
Gambar 5.9     Mekanisme sistem Langgan saat ini.
C.        Langgan Dalam Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Nelayan Desa Muara-Binuangeun
1.    Nelayan Dalam Sistem Langgan
Masyarakat nelayan Desa Muara menganggap Langgan sebagai sang penolong yang akan membantu mereka keluar dari kkesulitan ekonomi. Bagaimana tidak, Langgan memberikan modal dengan mudah pada nelayan dengan tanpa adanya syarat-sayarat khusus seperti halnya lembaga keuangan foramal. Hanya bermodalkan kepercayaan dan saling pengertian, maka nelayan akan memperoleh modal dengan mudah dari Langgan. Tentu saja seperti halnya lembaga keuangan yang mencari keuntungan, Langgan juga membuat kesepakatan di awal dengan nelayan dalam hal bagi keuntungan.
“Langgan menawarkan proses peminjaman modal dengan sangat mudah. Lebih mudah dari lembaga-lembaga yang menawarkan pinjaman pada nelayan. Langgan memberi modal pada nelayan pada saat nelayan membutuhkannya. Pada saat nelayan butuh, pada saat itulah modal diberikan pada nelayan. Tidak perlu proses yang berbelit-belit. Tentunya hanya ada perjanjian proses pengembalian dan bagi hasil dari nelayan dengan Langgan, (HDA).

Akan tetapi, dalam prakteknya ternyata Langgan berusaha memanfaatkan nelayan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Kepercayaan dan saling pengertian yang sebelumnya dijalin dengan baik, dijadikan senjata untuk menjerat nelayan ke dalam utang yang tidak mungkin terbayar oleh neyan. Bunga pinjaman yang sangat besar, permainan harga yang dilakukan Langgan di pasar lokal, mekanisme perjanjian sepihak yang menguntungkan Langgan, praktek penjualan bahan bakar dengan harga yang sangat mahal melebihi harga di pasaran, pembelian hasil tangkapan nelayan dengan harga murah dan praktek-praktek penipuan lainnya menyebabkan nelayan semakin terpuruk dan miskin. Semula nelayan berharap dengan adanya Langgan akan menolong mereka keluar dari masalah kemiskinan yang mereka hadapi. Akan tetapi, ternyata dengan adanya Langgan malah membuat nelayan semakin sulit keluar dari masalah yang mereka hadapi.
Nelayan yang mmemilki utang pada Langgan, umumnya tidak bisa keluar dari sistem yang diterapkan oleh Langgan. Akan tetapi, nelayan tersebut dapat berpindah Langgan dari Langgan yang satu ke tangan Langgan yang lain dengan syarat nelayan yang bersangkutan harus melunasi utangnya pada Langgan di awal. Pelunasan pada Langgan di awal biasanya dilakukan oleh Langgan yang baru. Artinya adalah utang nelayan tersebut berpindah dari Langgan sebelumnya ke Langgan yang baru. Peristiwa ini terjadi apabila Langgan yang sebelumnya tidak dapat lagi meminjamkan modal pada nelayan karena utang-utang nelayan terlalu besar.
Utang nelayan tersebut terkadang akan diwariskan pada keluarganya jika nelayan tersebut tetap tidak mampu melunasi utangnya. Namun ada juga Langgan yang membebaskan utang-utang nelayan apabila : pertama, keseluruhan utang nelayan baik utang pokok atau utang gantung dan utang mati nelayan sudah lunas dibayar. Kedua, perahu yang dipinjamkan kepada nelayan rusak total atau hilang karena tenggelam di laut. Ketiga, perahu yang dipinjamkan pada nelayan menderita kkerusakan dan tidak diperbaiki oleh Langgan atau dibiarkan saja oleh Langgan tersebut.
Poin pertama tersebut di atas, jarang sekali terjadi karena utang nelayan yang bertumpuk dan terus menjadi besar, membuat nelayan sangat sulit untuk melunasi utang tersebut. Sedangkan poin yang kedua dan ketiga biasanya disiasati oleh nelayan untuk keluar dari himpitan utang pada Langgan denagn cara membiarkan perahu yang rusak tersebut tanpa memperbaikinya dan membuat perahu yang baru dengan Langgan yang baru pula.

2.    Peran dan Fungsi Langgan Bagi Nelayan
Musim paceklik atau paila yang tejadi di Desa Muara biasanya berlangsung selama 20 hari dalam dua bulan atau 10 hari dalam satu bulan. Jadi waktu efektif nelayan dalam melaut hanya 20 hari saja setiap bulannya. Musim paila ini biasanya terjadi pada tanggal 20 sampai tanggal 10 bulan selanjutnya. Terkadang musim paila tersebut berlangsung lama, tergantung pada kondisi alam di wilayah tersebut.
Modal pokok yang seharusnya digunakan untuk melaut, terkadang habis terpakai untuk kenutuhan rumah tangga pada musim paila, bahkan barang-barang yang ada di rumahnya pun habil dijual untuk menyambung hidup pada musim paila. Hal inilah yang kemudian menggiring nelayan untuk meminjam modal pada Langgan untuk keperluan melaut. Seorang pengamat Langgan mengatakan bahwa, fenomena peminjaman modal pada Langgan oleh nelayan disebabkan oleh sikap nelayan yang konsumtif dan tidak suka menabung pada saat musim panen ikan. Akhirnya pada musim paila atau pada saat melaut, mereka kekurangan modal dan akhirnya meminjam modal pada Langgan, (RSP).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peranan Langgan adalah sebagai tempat peminjaman modal untuk keperluan nelayan dalam melaut. Disamping itu, Langgan juga mempengaruhi besar kecilnya harga hasil tangkapan nelayan di pasaran. Disamping mengharuskan nelayan peminjam modal untuk menjual hasil yangkapannya kepada Langgan pemberi modal, ternyata jika nelayan menjual hasil tangkapannya pada pihak lain selain Langgan di TPI yaitu kepada para Bakul, maka akan dihargai sangat murah, lebih murah dari pada di jual pada Langgan. Hal ini karena antara Langgan dengan para Bakul memilki jaringan yang kuat dimana kekuasaan tertingginya berada di tangan Langgan. Sehingga peran Langgan yang kedua adalah mengendalikan dan menguasai harga ikan di pasar lokal (TPI).
Berdasarkan peranannya tersebut, maka fungsi Langgan adalah sebagai berikut :
1)      Langgan berfungsi sebagai lembaga yang merupakan suatu sistem yang memilki tata aturan tertentu dan memberikan pinjaman modal pada nelayan lokal/setempat di Desa Muara.
2)      Langgan berfungsi dalam mengendalikan dan mengatur harga ikan di tingkat nelayan dan di tingkat pasaran lokal (TPI).

3.    Makna Langgan Bagi Masyarakat Nelayan Desa Muara-Binuangeun
1.    Makna Sosial
Langgan di dalam perkembangannya ternyata memilki makna sosial. Masyarakat nelayan yang terlibat dalam Langgan banyak yang meminta bantuan pada Langgan dalam memperoleh modal untuk melaut ataupun keperluan lainnya. Selain itu, jika nelayan mengalami kecelakaan di laut saat sedang beraktivitas mencari ikan, biasanya Langgan pemberi modal memberikan santunan pada nelayan tersebut. Secara garis besar, Langgan memang dipandang sangat merugikan bagi nelayan, karena bunga pinjaman yang besar dan harga pembelian ikan oleh Langgan yang dibawah harga seharusnya. Akan tetapi, sedikit ataupun banyak, Langgan juga telah membantu nelayan dalam memperoleh modal kerja ataupun pinjaman uang untuk kebutuhan sehari-hari. Di sisi lain, Langgan juga dapat mempererat persatuan para nalayan yang terlibat dalam Langgan sehingga nelayan merasa senasib dan seperjuangan dalam melunasi utang-utangnya pada Langgan ataupun mencapai tujuannya yang lain.
2.    Makna Budaya
Langgan merupakan salah satu bentuk kerifan lokal masyarakat nelayan di Desa Muara Binuangeun yang berkembang menjadi suatu kebiasaan pada masyarakat. Sebagai suatu bagian dari budaya masyarakat, Langgan sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat. Misalnya saja adanya budaya masyarakat tentang bagaimana memperlakukan alam tempat mencari nafkah mereka (laut atau pesisir), telah memberi dampak pada bagaimana masyarakat memperlakukan Langgan itu sendiri. Langgan dipandang sebagai suatu kearifan lokal yang melembaga dan bbertugas untuk membantu nelayan dalam penyediaan modal. Langgan juga dipandang sebagai suatu kebijakan bersama yang didasari atas modal sosial (saling percaya dan pengertian) dan kebudayaan yang berkembang pada masyarakat sehingga keberadaannya selalu berdampingan dengan budaya masyarakat.

3.    Makna Ekonomi
Secara ekonomi, Langgan merupakan sentral peminjaman uang bagi nelayan lokal  di Desa Muara Binuangeun. Langgan telah banyak membantu masyarakat dalam memperoleh modal untuk melaut ataupun untuk kebutuhan nelayan pada musim paila walaupun pada kenyataannya nelayan banyak dirugikan oleh praktek–praktek yang dilakukan oleh Langgan dalam memperoleh kembali sejumlah uang yang mereka pinjamkan pada nelayan. Langgan dijadikan sentral peminjaman modal oleh masyarakat nelyan lokal mengingat di wilyayah tersebut belum ada lembaga keuangan atau tempat peminjaman modal selain Langgan yang menawarkan fasilitas kemudahan dalam proses peminjaman layaknya langgan. sehingga mau tidak mau, Langgan menjadi pilihan utama bagi nelyan yang membutuhkan uang atau modal untuk usadanya. Masyarakat nelayan dengan Langgan menjadi seolah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dimana nelyan pada umumnya akan lebih sullit memperoleh modal jika Langgan tidak ada dan Langgan pun tidak dapat beroprasi jika nelayan peminjam modal tidak ada di tempat tersebut. Langgan sangat berpengaruh besar dalam penyediaan modal usaha bagi nelayan lokal. Kalaupun nelayan terus dirugikan, nelayan beranggapan paling tidak kebutuhannya saat ini dapat tercukupi.

4.    Makna Politik
Berbagai macam aturan khusus atau norma yang diterapkan oleh Langgan yang bersumber dari modal sosial yang berkembang pada masyarakat lokal ternyata telah memberi makna politik bagi masyarakat nelayan setempat. Secara politik, Langgan telah  dapat mengendalikan masyarakat lokal yang terlibat dalam Langgan untuk menaati peraturan-peraturan yang diterapkan oleh Langgan. Sebenarnya peraturan tersebut kurang begitu mengikat secara hukum karena umumnya tidak disertai adanya buktu-bukti otentik secara hukum sehingga aturan-aturan yang diterapkan oleh Langgan hanya mengandung sanksi moral/ adat yang berkembang pada masyarakat seperti bagi nelayan yang tidak memenuhi kewajibannya pada Langgan, maka pinjaman modalnya akan dihentikan  dan jika ia melakukan pinjaman pada Langgan lain maka umumnya tidak akan diberi karena dianggap tidak bisa berhianat pada Langgan sebelumnya maka ia juga akan berhianat pada Langgan yang baru. Disisni terlihat bahwa modal sosial yaitu kepercayaan, solidaritas, loyalitas dan menjadi faktor utama eratnya hubungan kerjasama antara nelayan dan Langgan.
        Aturan yang diterapkan oleh Langgan dalam penjualan dan pendistribusian hasil tangkapan juga telah dapat mengendalikan nelayan. Bagi nelayan yang ternyata menjual hasil tangkapannya pada langgan lain atau langsung pada Bakul yang ada di TPI, maka harga ikan akan jatuh lebih murah daripada dijual pada Langgan yang memberinya modal. Ini merupakan salah satu cara Langgan dalam mengendalikan nelayan secara politik di wilayah tersebut melelui jaringan yang ia buat di pasar dengan Langgan lain dan dengan Bakul-Bakul yang ada di wilayah tersebut.









BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN


A.       Kesimpulan
Langgan merupakan suatu istilah bagi seseorang yang meminjamkan modal kepada nelayan yang akan melaut, yang dikenal pada masyarakat Desa Muara-Binuangeun, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak, Banten. Langgan terlahir dari inisiatif masyarakat dalam memecahkan masalah sosial-ekonomi mereka. Pada saat kemiskinan terjadi pada masyarakat dan implikasinya adalah masyarakat tidak memilki modal melaut, saat itulah timbul inisiatif untuk membuat atau menacari alternatif dalam mencari pinjaman modal. Dalam perkembangannya, tidak diketahui secara pasti kapan Langgan mulai ada dalam masyarakat nelayan Desa Muara Binuangeun. Namun beberapa dari masyarakat lokal daerah tersebut menyebutkan bahwa Langgan mulai ada ketika kegiatan perekonomian perikanan dimulai. Keterlibatan nelayan pada Langgan, dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya kondisi alam, budaya masyarakat yang konsumtif, sikap ketergantungan nelayan pada alam, program pemerintah yang tidak mendukung nelayan dan tidak tepat sasaran dan rendahnya tingkat pendidikan nelayan.
Proses kerjasama antara nelayan dengan Langgan ditandai dengan adanya serangkaian mekanisme yang terstruktur yang dimulai dengan adanya suatu perjanjian mengenai modal yang akan dipinjam oleh nelayan dari Langgan. Setelah adanya kesepakatan antara Langgan dan nelayan dalam hal peminjaman modal, nelayan kemudian melaksanakan aktivitasnya dalam mencari ikan. Kemudian seluruh hasil tangkapan disetorkan pada Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dengan diawasi oleh Langgan yang memberi modal pada nelayan tersebut. Setelah proses pencatatan hasil tangkapan nelayan selesai oleh petugas TPI, maka berikutnya petugas TPI melakukan pemotongan sebesar 8%. Potongan tersebut dibagi mmenjadi dua bagian yaitu 5% dibebankan pada nelayan yang akan dikembalikan pada nelayan sewaktu-waktu. Sedangkan 3% dibebankan pada pembeli di lelang sebagai pajak pembelian. Selanjutnya setelah proses pemotongan selesai dilakukan oleh petugas TPI, maka hasil tangkapan nelayan tersebut dijual oleh Langgan pada Bakul-Bakul yang ada di TPI untuk kemudian dijual pada konsumen. Hasil penjualan tersebut kemudian diserahkan pada nelayan setelah sebelumnya dipotong harga oleh Langgan berdasarkan kesepakatan di awal.
Langgan berperan sebagai tempat peminjaman modal untuk keperluan nelayan dalam melaut. Disamping itu, Langgan juga mempengaruhi besar kecilnya harga hasil tangkapan nelayan di pasaran. Berdasarkan peranannya tersebut, maka fungsi Langgan adalah sebagai berikut :
3)        Langgan berfungsi sebagai lembaga yang merupakan suatu sistem yang memilki tata aturan tertentu dan memberikan pinjaman modal pada nelayan lokal/setempat di Desa Muara.
4)        Langgan berfungsi dalam mengendalikan dan mengatur harga ikan di tingkat nelayan dan di tingkat pasaran lokal (TPI).

B.        Saran
Meskipun Langgan dipandang banyak merugikan masyarakat, keberadaan Langgan harus tetap dipertahankan. Karena bukan Langgan-nya yang merugikan masyarakat, akan tetapi orang-orang yang menduduki kekuasaan tertinggi dalam Langgan lah yang banyak merugikan masyarakat. Jika mekanismenya dijalankan dengan baik, maka tidak akan merugikan pihak manapun. Berdasarkan hal ini, maka saran-saran yang dapat kami berikan antara lain :
1.      Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang Langgan yang berkembang di Desa Muara-Binuangeun. Mengingat keterbatasan pengetahuan peneliti, masih banyak hal-hal lain yang masih tergali.
2.      Bagi masyarakat Desa Muara, hendaknya tidak selalu bergantung pada sesuatu hal saja (seperti pada Langgan), dan mencoba untuk menghilangkan kebisaan buruk seperti perilaku konsumtif dan boros. Sehingga dapat keluar dari masalah-masalah sosial-ekonomi.
3.      Bagi akademisi, diharapkan hasil penelitian ini menjadi bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya demi kemajuan bersama.
4.      Bagi pemerintah, diharapakan akan menjadi bahan rujukan dan sebagai masukan untuk pembuatan kebijakan selanjutnya demi kemajjuan bersama.

DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2009 . Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Pertanian Lahan Rawa Lebak, dalam http://aluhlangkar.blogspot.com/2008/08/kearifan-lokal-dalam-pengelolaan.html untuk judul Monday, August 11, 2008. (Diakses tanggal 12 Mei 2010 Jam 14.15 WIB).
Kusnadi. 2007a. Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta : PT. LKIS Pelangi Aksara.
________, ed. 2007b. Strategi hidup masyarakat nelayan. Jember : Tim pemberdayaan masyarakat pesisir (PSKP).
Kuhuriyati, Siti Fikriyah. Nelayan Memegang Cangkul : Perubahan Pola Produksi Berbasis Laut Menjadi Berbasis Tanah (Studi Kasus Tanah Timbul Segara Anakan). Jurnal pembaruan Desa dan agraria : 2005, volume 11/tahun 2.
Masyhuri dan Mochammad Nadjib. 2000. Pemberdayaan Nelayan Tertinggal : Sebuah Uji Model Penanganan Kemiskinan. Jakarta : Puslitbang ekonomi dan pembangunan – LIPI.
Mitchell, Bruce, 1997. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Diterjemahkan oleh B. Setiawan dan Dwita Hadi Rahmi, 2007. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.
Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafat. Jurnal filsafat : Agustus 2004, jilid 37, Nomor 2.
Saryani, Yayan. 2010. Langgan Bagi Nelayan Muara-Binuangeun Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Satria, Arif. 2009a. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta : LKIS.
________, 2009b. Pesisir dan Laut Untuk Rakyat. Bogor : IPB Press.



LAMPIRAN I DATA NARASUMBER SAAT PENELITIAN

No
Inisial
Jenis kelamin
Umur (Tahun)
Pendidikan terakhir
Alamat
Keterangan
1
DMR
Laki-laki
67
Tidak Tamat SD
Desa Muara
Mantan Nelayan
2
KYH
Perempuan
59
Tidak Tamat SD
Desa Muara
Mantan Nelayan
3
SRN
Laki-laki
53
SD
Desa Muara
Langgan
4
RSP
Laki-laki
55
S2
Desa Jati Wara
Guru/ Pengamat
5
HDA
Laki-laki
47
SMA
Desa Muara
Langgan
6
UJH
Laki-laki
42
S1
Desa Muara
Kepala Desa
7
EJG
Laki-laki
37
SMA
Desa Muara
Tekong
8
ATS
Laki-laki
33
SMA
Desa Muara
Sekretaris Kepala Desa
9
YGI
Laki-laki
32
S1
Desa Muara
Pengamat Langgan/ Pegawai TPI
10
DNF
Laki-laki
31
SMA
Desa Muara
Nelayan Kursin
11
HDI
Laki-laki
26
SMA
Desa Muara
Masyarakat Setempat/Guru
12
RWN
Laki-laki
23
SMA
Desa Muara
Masyarakat Setempat
13
RSI
Laki-laki
23
SMA
Desa Muara
Nelayan
14
RTA
Perempuan
23
S1
Desa Muara
Mahasiswi
15
SHN
Perempuan
22
SMA
Desa Muara
Pedagang














LAMPIRAN II PANDUAN PERTANYAAN

1.      Pihak Masyarakat
·           Bisakah anda menceritakan Langgan yang berkembang di desa ini?
·           Bagaimana awal mulanya Langgan tersebut tumbuh dan berkembang pada masyarakat?
·           Manfaat apa yang anda peroleh dari Langgan yang berkembang tersebut?
·           Apakah anda terlibat dalan sisitem Langgan tersebut?
·           Tahukah anda dari mana Langgan tersebut berasal, ataukah Langgan tersebut merupakan budaya asli daerah anda?
·           Bagaimana anda berperan dalam Langgan tersebut?
·           Apa harapan anda terhadap Langgan yang berkembang di tempat anda?
·           Siapa saja yang diuntungkan?
·           Adakah perubahan dalam pola pengaplikasian Langggan tersebut?
·           Mengapa Langgan tersebut berubah?
·           Bagaimana pola aplikasi Langgan dahulu dan bagaimana pola aplikasi Langgan saat ini?
·           Faktor apa saja yang menyebabkan Langgan tersebut berubah?
·           Mengapa faktor-faktor tersebut mempengaruhi perubahan pada Langgan?
·           Apa harapan anda untuk keberlangsungan aplikai Langgan tersebut?

2.      Pihak Pemerintah
·           Bagaimana peran pemerintah dalam sistem Langgan yang berkembang pada masyarakat setempat?
·           Manfaat apa yang diperoleh pemerintah dari Langgan yang berkembang pada masyarakat di wilayahnya?
·           Adakah aturan hukum yang mengatur secara tegas mengenai aplikasi Langgan di wilayah tersebut?
·           Bagaimana hubungan pemerintah dengan para pelaksana Langgan di wilayah tersebut?
·           Sejauh mana campur tangan pemerintah dalam Langgan yang berkembang pada masyarakat?
·           Bagaiaman pendapat anda tentang Langgan tersebut?
·           Apa harapan anda untuk keberlangsungan aplikasi Langgan tersebut oleh masyarakat?
·           Siapa saja yang diuntungkan?
·           Adakah perubahan dalam pola pengaplikasian Langggan tersebut?
·           Bagaimana pola aplikasi Langgan dahulu dan bagaimana pola aplikasi Langgan saat ini?
·           Faktor apa saja yang menyebabkan Langgan tersebut berubah?
·           Apa harapan anda untuk keberlangsungan aplikai Langgan tersebut?

3.      Pengamat
·           Apa yang anda ketahui tentang Langgan yang berkembang di Desa Muara-Binuangeun?
·           Apa yang melatar belakangi Langgan tersebut?
·           Siapa saja yang terlibat dalam Langgan tersebut?
·           Apa fungsi dan peran dari Langgan tersebut?
·           Bagaimana dampaknya pada masyarakat?
·           Siapa saja yang diuntungkan?
·           Adakah perubahan dalam pola pengaplikasian Langggan tersebut?
·           Bagaimana pola aplikasi Langgan dahulu dan bagaimana pola aplikasi Langgan saat ini?
·           Faktor apa saja yang menyebabkan Langgan tersebut berubah?
·           Apa harapan anda untuk keberlangsungan aplikai Langgan tersebut?

4.      Langgan
·           Bagaimana mekanisme peminjaman modal pada Langgan?
·           Syarat atau ketentuan apa yang harus dipenuhi nelayan saat melakukan peminjaman uang?
·           Apakah sering ditemui hambatan pada saat tertentu terkait peminjaman modal yang dilakukan nelayan pada Langgan?
·           Seandainya nelayan tidak mampu membayar modal yang dipinjamnya, bagaimana proses penyelesaian masalah tersebut?
·           Bagaiamana interpensi pemerintah dalam sistem Langgan?
·           Adakah aturan formal dari pemerintah setempat sebagai payung hukum untuk kkegiatan Langgan?
·           Siapa saja yang terlibat dalam sisitem Langgan selain nnelayan dan Langgan itu sendiri?
·           Bagaiamana peran dan fungsi Langgan pada sistem sosial-ekonomi masyarakat?
·           Bagaimana pola aplikasi Langgan dahulu dan bagaimana pola aplikasi Langgan saat ini?
·           Faktor apa saja yang menyebabkan Langgan tersebut berubah?
·           Apa harapan anda untuk keberlangsungan aplikai Langgan tersebut?